Kisah Tragis Sarah Baartman: Dari Eksploitasi di Eropa hingga Menjadi Simbol Perlawanan Terhadap Rasisme dan Seksisme
Di balik sejarah panjang eksploitasi dan rasisme, ada kisah seorang wanita yang hidupnya menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan. Sarah Baartman, atau yang lebih dikenal dengan julukan “Hottentot Venus”, adalah seorang wanita asal Afrika yang mengalami penghinaan dan perlakuan tidak manusiawi di Eropa. Kisahnya tak hanya menjadi cerita tentang penderitaan, tetapi juga tentang bagaimana tubuh seorang perempuan kulit hitam dijadikan objek objektifikasi, yang kemudian menjadi simbol perlawanan terhadap rasisme dan seksisme.
Sarah Baartman lahir sekitar tahun 1789 di lembah Gamtoos, wilayah yang kini dikenal sebagai Eastern Cape, Afrika Selatan. Ia berasal dari suku Khoikhoi, kelompok pribumi Afrika yang dikenal sebagai penggembala ternak. Saat kecil, Sarah harus menghadapi kenyataan pahit dengan kehilangan orang tuanya. Ibunya meninggal ketika ia baru berusia dua tahun, dan ayahnya meninggal saat ia masih remaja. Tidak lama setelah kehilangan orang tuanya, Sarah dijual sebagai budak kepada seorang pedagang Belanda bernama Pieter Willem Cezar.
Pada usia yang sangat muda, ia dibawa ke Cape Town, tempat di mana ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hidup Sarah yang penuh dengan tantangan dan penderitaan belum selesai, karena kehidupannya kemudian berputar 180 derajat ketika ia dibawa ke Eropa, yang akhirnya mengubah nasibnya menjadi salah satu kisah eksploitasi paling tragis dalam sejarah.
Eksploitasi dan Objektifikasi
Pada usia sekitar 21 tahun, Sarah Baartman dibawa ke Inggris oleh Cezar dan seorang dokter asal Skotlandia, William Dunlop. Awalnya, ia dijanjikan pekerjaan sebagai pelayan rumah tangga, namun kenyataan jauh berbeda. Sesampainya di London pada tahun 1810, Sarah dipamerkan di ruang publik sebagai objek “keanehan” karena bentuk tubuhnya yang dianggap eksotis oleh orang Eropa.
Julukan “Hottentot Venus” pun disematkan padanya. Nama tersebut merujuk pada stereotip rasis terhadap orang Afrika, khususnya kaum wanita yang dianggap memiliki tubuh yang “berbeda” dan “unik”. Di mata masyarakat Eropa, tubuhnya yang dianggap terlalu berisi di bagian bokong dan pinggul dianggap sebagai “fenomena” yang perlu dipamerkan untuk hiburan publik.
Sarah Baartman dipamerkan di kandang kaca, di mana para penonton dapat melihat tubuhnya secara langsung dan terkadang memberikan uang untuk melihatnya lebih dekat. Penghinaan yang dialaminya adalah bentuk eksploitasi tubuh perempuan kulit hitam yang tidak hanya merendahkan martabatnya, tetapi juga memperkuat pandangan rasis yang menganggap orang kulit hitam sebagai objek yang bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Pada tahun 1814, Sarah dibawa ke Paris dan dipamerkan di Palais Royal. Tidak hanya menjadi objek tontonan publik, Sarah juga dijadikan bahan eksperimen ilmiah oleh para ilmuwan, termasuk Georges Cuvier, seorang ilmuwan Prancis terkenal. Tubuhnya, termasuk organ reproduksinya, bahkan diawetkan dan dipamerkan di Musée de l’Homme hingga tahun 1974.
Kematian dan Pengembalian Jenazah
Sarah Baartman menghabiskan hidupnya sebagai objek eksploitasi dan penghinaan. Ia meninggal pada 29 Desember 1815 di Paris pada usia sekitar 26 tahun, setelah menjalani kehidupan yang penuh penderitaan. Meskipun penyebab kematiannya tidak dapat dipastikan, ada beberapa sumber yang menyebutkan pneumonia, sifilis, atau bahkan alkoholisme sebagai penyebab kematiannya.
Setelah kematiannya, tubuhnya diawetkan dan dipamerkan di museum, di mana ia terus dijadikan objek untuk penelitian ilmiah yang merendahkan. Sarah Baartman menjadi simbol dari penindasan tubuh perempuan kulit hitam, serta mencerminkan kesewenang-wenangan penjajahan dan pandangan rasis yang berlaku pada masa itu. Namun, meskipun ia telah meninggal, perjuangannya untuk memperoleh martabat belum berakhir.
Hanya pada tahun 2002, lebih dari 187 tahun setelah kematiannya, jenazah Sarah Baartman akhirnya dikembalikan ke Afrika Selatan dan dimakamkan dengan upacara yang layak di Hankey, Eastern Cape, pada 9 Agustus 2002. Pengembalian jenazahnya adalah bagian dari perjuangan panjang untuk memberi penghormatan terhadap martabatnya, dan sebagai simbol pengakuan terhadap hak perempuan kulit hitam.
Warisan Sarah Baartman: Simbol Perlawanan
Kisah hidup Sarah Baartman kini tidak hanya dikenang sebagai cerita tragis, tetapi juga sebagai simbol perjuangan melawan rasisme, seksisme, dan eksploitasi tubuh perempuan kulit hitam. Pada tahun 1998, penyair asal Afrika Selatan, Diana Ferrus, menulis puisi berjudul “I’ve Come to Take You Home”, yang berperan penting dalam perjuangan untuk pengembalian jenazah Sarah Baartman. Puisi ini menggambarkan bagaimana tubuh Sarah Baartman telah dihancurkan oleh kolonialisme, tetapi pada akhirnya, ia mendapatkan kembali martabatnya.
Hari ini, Sarah Baartman dihormati sebagai “Ratu Hottentot” oleh komunitas Khoikhoi di Afrika Selatan. Beberapa tempat di Afrika Selatan, seperti Pusat Sarah Baartman untuk Perempuan dan Anak-anak di Cape Town, dan Distrik Sarah Baartman di Eastern Cape, didedikasikan untuk mengenang warisannya.
Baartman tidak hanya menjadi simbol perempuan Afrika yang melawan eksploitasi tubuhnya, tetapi juga menjadi lambang keberanian, pengorbanan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang harus dihadapi perempuan kulit hitam di seluruh dunia.
Kisah Sarah Baartman mengingatkan kita akan pentingnya menghormati martabat setiap individu, terlepas dari latar belakang ras, etnis, atau gender mereka. Sebagai perempuan kulit hitam, tubuhnya dieksploitasi untuk hiburan dan penelitian ilmiah yang merendahkan, namun ia menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Sarah Baartman mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat manusia sebagai objek, tetapi sebagai individu yang memiliki martabat dan hak-hak yang harus dihormati.