Cerpen

Misteri Pusaka Tali Sangka – Bagian 4: Dunia yang Terlarang

Damar merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya saat ia melangkah lebih dekat ke pintu batu hitam yang gelap itu. Suara bisikan yang terdengar dari dalam seolah menariknya lebih dalam, menggugah rasa ingin tahunya yang semakin kuat. Ada sesuatu yang tak bisa ia pahami tentang keris Tali Sangka—sesuatu yang menjanjikan kebesaran, namun juga menghantui dengan bayangan-bayangan gelap.

Ia mengulurkan tangan, merasa getaran kuat saat jarinya menyentuh pintu batu tersebut. Sebuah kekuatan besar memancar, seolah dunia di balik pintu itu menunggu kedatangannya. Tanpa ada pilihan lain, Damar menarik napas panjang dan mendorong pintu itu terbuka.

Ketika pintu itu terbuka, sebuah cahaya biru redup menyambutnya, menggambarkan sebuah dunia yang sangat berbeda. Dunia ini terasa seperti ruang yang terletak di antara kenyataan dan mimpi—sebuah ruang yang terlarang, penuh dengan makhluk-makhluk yang tak tampak di dunia nyata. Sebagian besar dari mereka memiliki bentuk yang kabur, tidak jelas, dan tampaknya terjebak dalam dimensi ini, berusaha untuk mencari jalan keluar.

Damar melangkah ke dalam dengan hati yang berat, namun penuh tekad. Di hadapannya, terdapat jalan panjang yang berkelok-kelok menuju sebuah kuil yang tampak sangat tua. Kuil itu tampaknya sudah berabad-abad berdiri, namun tidak tergerus waktu. Damar bisa merasakan energi yang kuat mengalir dari kuil itu, dan ia tahu bahwa jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui pikirannya ada di sana.

Namun, setiap langkah yang ia ambil, ia merasakan seakan ada sesuatu yang mengawasi, mengikuti dari kejauhan. Para roh yang terperangkap di dunia ini tidak hanya diam, mereka tampaknya mengamati pergerakan Damar dengan mata yang penuh harapan, atau lebih tepatnya, penuh rasa takut.

Semakin mendekat ke kuil, semakin terasa gelombang energi yang mencekam. Damar merasakan perasaan takut yang lebih dalam, tetapi ia menekan rasa itu. Ia tahu bahwa ini adalah ujian terakhir, dan hanya dengan menghadapinya, ia bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Di depan pintu kuil, Damar berhenti sejenak. Tali Sangka yang ia pegang kini terasa sangat panas, seolah ingin melepaskan diri dari genggamannya. Namun, ia menguatkan diri, memaksa tangan untuk tetap memegang erat pusaka itu. Tiba-tiba, suara itu kembali terdengar di pikirannya.

“Kau telah datang jauh, Damar Tunjung… Namun, ini adalah perjalanan yang tak akan pernah kembali.” Suara itu bergema dalam pikirannya, kali ini lebih jelas dan penuh ancaman.

Dengan langkah pasti, Damar memasuki kuil yang gelap itu. Begitu melangkah masuk, matanya terbuka lebar melihat sebuah altar besar yang terletak di tengah ruangan. Di atas altar itu tergeletak sebuah batu hitam yang sangat besar, dengan simbol-simbol kuno yang menyala dalam cahaya biru. Di bawah batu itu, sebuah peti kayu tertutup rapat, dan dari dalam peti itu, Damar bisa merasakan aura yang sangat kuat—lebih kuat dari apa pun yang pernah ia rasakan.

Damar mendekat, dan begitu ia mengulurkan tangan untuk menyentuh peti itu, suara lain terdengar—suara yang lebih rendah, lebih dalam, dan lebih menggetarkan.

“Jangan sentuh itu, anak manusia,” suara itu memperingatkan, “Itu adalah sumber dari semua penderitaan. Kekuatan yang terkandung di dalamnya tidak bisa dihadapi oleh siapapun yang belum siap membayar harganya.”

Namun, Damar sudah terlanjur terseret dalam ketegangan yang semakin memuncak. Setiap kata yang terdengar dalam pikirannya seolah semakin mendesak, semakin menggugah tekadnya untuk menyelesaikan perjalanan ini. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Apa yang berada di dalam peti itu adalah jawaban yang telah ia cari sepanjang perjalanan ini—jawaban yang akan memberinya kekuatan untuk mengendalikan nasibnya, atau mengakhiri segalanya.

Dengan hati yang tegar, Damar membuka peti itu. Begitu tutupnya terangkat, sebuah cahaya putih yang sangat terang keluar, memenuhi seluruh ruangan. Damar terkejut, matanya terpejam sejenak oleh kilatan cahaya yang sangat menyilaukan. Ketika ia membuka mata, di hadapannya terbaring sebuah batu besar yang bertuliskan simbol yang sama dengan yang ada di keris Tali Sangka—sebuah pusaka yang jauh lebih kuat dari keris itu sendiri.

Di balik batu tersebut, ada sebuah gambar yang terbentuk dari cahaya yang seakan hidup. Gambaran itu menunjukkan sebuah dunia yang berbeda—sebuah dunia yang seolah-olah telah hancur, tetapi masih berusaha untuk bangkit kembali. Dunia ini adalah dunia para leluhur, dunia yang telah lama dilupakan, dan kini terancam hilang selamanya.

Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, lebih dekat.

“Keris Tali Sangka adalah pintu yang menghubungkan dua dunia—dunia manusia dan dunia leluhur yang telah hilang. Kau, Damar Tunjung, adalah kunci yang mengikat keduanya. Tetapi, ingatlah, kekuatan yang kau pegang akan membawa konsekuensi yang tak terelakkan.”

Damar merasa perasaan terbelah. Ia bisa merasakan energi yang luar biasa mengalir dalam dirinya, menguasai tubuh dan pikirannya. Ia bisa memilih untuk membuka jalan bagi dunia leluhur untuk kembali hidup, atau ia bisa memilih untuk menghapus semua yang telah terjadi—meskipun itu berarti mengorbankan segalanya.

Namun, Damar tahu bahwa apapun yang ia pilih, tak ada jalan kembali. Dunia yang ia kenal sudah tak akan pernah sama. Dan ia harus siap menghadapi dunia yang akan terbuka di depan matanya.