Pinterpedia.com – Di media sosial, jadi CEO muda itu keren. Pakai jas, duduk di kursi kulit hitam, tangan kanan megang Starbucks, tangan kiri tanda tangan kontrak miliaran. Tapi… tunggu dulu. Apakah semua itu benar-benar seperti yang terlihat di layar? Atau ada cerita lain yang sengaja nggak dibagikan?
Kalau kamu termasuk yang punya mimpi jadi direktur utama alias dirut sebelum umur 30, artikel ini bukan untuk menjatuhkan. Justru sebaliknya, ini ajakan buat kamu mikir lebih dalam—karena realitanya, mimpi besar butuh fondasi yang lebih kuat dari sekadar viral video atau caption motivasi.
Apa Sebenarnya yang Dipegang Seorang Dirut?
Pertama, kita lurusin dulu ya. Direktur utama itu bukan cuma soal jabatan tertinggi di perusahaan, tapi juga orang yang bertanggung jawab penuh atas arah hidup sebuah organisasi. Dia bukan cuma orang yang nyuruh-nyuruh di ruang rapat, tapi juga orang pertama yang disalahkan kalau perusahaan merugi.
Menurut Harvard Business Review, CEO alias dirut punya 3 fokus utama: arah strategi jangka panjang, keputusan krusial yang berdampak luas, dan menjaga kestabilan organisasi. Sounds simple? Nggak juga. Karena kenyataannya, semua keputusan ini harus diambil dengan risiko yang kadang bahkan menyangkut hidup ratusan orang karyawan.
Umur 20-an: Siapkah Kamu Menyandang Beban Itu?
Di umur 25-an, mayoritas orang lagi sibuk belajar stabilin emosi, nyari pola kerja yang cocok, atau baru aja loncat dari kerjaan pertama. Jadi, siap nggak kamu pegang seluruh operasional dan mentalitas pemimpin saat hidup kamu aja belum sepenuhnya stabil?
Salah satu jebakan yang sering terjadi adalah “CEO title inflation” di kalangan startup. Banyak anak muda ngasih gelar CEO di bio mereka, padahal yang dijalankan masih usaha kecil tanpa struktur formal. Bukan salah, tapi itu bukan representasi sebenarnya dari posisi direktur utama di ekosistem profesional.
Realita Mental: Kesepian, Tekanan, dan Validasi
Jadi dirut bukan cuma soal bikin keputusan besar, tapi juga soal kesepian dalam pengambilan keputusan. Nggak semua orang bisa diajak diskusi. Semakin tinggi posisi, semakin dikit yang bisa dipercaya. Bahkan menurut riset dari Stanford Graduate School of Business, banyak CEO muda mengalami “impostor syndrome” yang lebih parah dibanding yang berusia matang.
Kamu akan dituntut untuk “terlihat selalu tahu”, padahal seringkali kamu justru bingung sendiri. Semua orang berharap kamu punya jawabannya. Dan itu berat.
Skill Set yang Sering Dilupakan
Banyak anak muda fokus ke kemampuan teknis: pitching, desain produk, presentasi keren, bahkan manajemen tim kecil. Tapi ada satu skill krusial yang jarang diajarin di kampus: strategic empathy.
Kemampuan untuk paham orang lain secara strategis. Untuk tahu kapan harus tegas, kapan harus lentur, kapan harus diam, dan kapan harus mundur.
Jadi dirut bukan soal “menang berdebat” tapi soal “menang strategi”. Dan itu perlu jam terbang. Perlu banyak salah. Perlu dikritik. Dan yang lebih penting: perlu cukup rendah hati untuk belajar dari siapa saja.
Apa Harus Menunggu Tua Baru Jadi Dirut?
Nggak juga. Banyak kok yang bisa sukses jadi CEO atau direktur utama di usia muda. Tapi mereka umumnya punya fondasi kuat: pengalaman lapangan, tim yang mendukung, mentor yang objektif, dan mental yang udah digembleng kegagalan.
Contohnya Nadiem Makarim, yang jadi CEO Gojek di usia muda bukan karena tiba-tiba, tapi karena pengalaman dan pembelajaran berlapis dari Harvard, McKinsey, dan startup sebelumnya. Atau William Tanuwijaya, yang membangun Tokopedia lewat proses bertahun-tahun sambil menghadapi ratusan penolakan.
Yang jadi masalah bukan umur mudanya. Tapi apakah kita terlalu terburu-buru ngotot jadi dirut hanya karena pengen terlihat keren di LinkedIn?
Alternatif yang Lebih Realistis (dan Tetap Keren)
Daripada maksa jadi dirut sebelum waktunya, kenapa nggak fokus aja dulu ke jadi problem solver terbaik di tim kamu? Atau mulai dari project leader, product owner, atau founder usaha kecil yang benar-benar jalan.
Kamu tetap bisa jadi pemimpin tanpa harus duduk di kursi direktur. Karena leadership itu bukan soal jabatan, tapi soal pengaruh.
Satu hal yang perlu diingat: CEO itu jabatan, tapi jadi pemimpin itu pilihan.
Jadi, Haruskah Kamu Mengejar Kursi Dirut Sebelum Umur 30?
Kalau kamu punya kapasitas, support system, dan mentalitas yang siap, why not? Tapi kalau motivasimu cuma karena “pengen keliatan keren di bio Instagram” atau biar bisa bilang “gue udah punya startup”, mending pikir ulang.
Lebih baik jadi pemimpin yang pelan tapi berdampak, daripada jadi dirut muda yang viral tapi burnout dalam senyap.
Kursi direktur utama bukan trofi, tapi ladang ujian. Ia bukan puncak dari pencapaian, tapi awal dari tanggung jawab besar. Kalau kamu pengen duduk di sana, pastikan kamu bukan sekadar siap dilihat, tapi juga siap diuji.
Dan kalau kamu belum sampai sana? Gak apa-apa. Mungkin kamu sedang membangun fondasi yang jauh lebih kokoh untuk duduk di kursi itu dengan tenang—tanpa harus pura-pura kuat.