Pinterpedia.com – Mungkin kamu pernah merasa dilema saat ditanya, “Mau ambil jurusan apa nanti?” Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi jawabannya bisa menentukan arah hidupmu beberapa tahun ke depan. Salah pilih jurusan bukan cuma soal bosan di kelas, tapi juga bisa berimbas ke peluang kerja, biaya yang terbuang, bahkan rasa percaya diri. Karena itu, memilih jurusan tidak bisa asal ikut-ikutan teman atau sekadar menuruti kata orang tua tanpa riset. Artikel ini akan membimbingmu lewat lima langkah yang segar, praktis, dan bisa kamu terapkan sekarang juga.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

1. Kenali Bakatmu Lewat Alat yang Teruji

Banyak orang terjebak pada “suka belum tentu bisa”. Misalnya, kamu suka menonton drama medis, tapi itu tidak otomatis berarti kamu cocok jadi dokter. Bakat adalah sesuatu yang konsisten muncul, bahkan ketika kamu menghadapi tantangan. Cara paling aman untuk mengenali bakat bukan sekadar menebak, tapi menggunakan asesmen yang memang sudah tervalidasi.

Menurut teori RIASEC Holland, setiap orang punya kecenderungan minat kerja tertentu—realistik, investigatif, artistik, sosial, enterprising, atau konvensional. Tes seperti ini, yang juga dipakai dalam layanan konseling karier internasional, bisa memberikan gambaran profesi yang cocok denganmu. Selain itu, kepribadian berbasis Big Five (openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness, neuroticism) sering digunakan oleh psikolog untuk memprediksi kecocokan kerja.

Dengan memahami hasil asesmen ini, kamu bisa menghindari jurusan yang hanya “terlihat keren” tapi sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuanmu. Jadi, langkah pertama adalah memetakan siapa dirimu secara objektif, bukan berdasarkan asumsi.

2. Cek Tren Karir Masa Depan

Setelah tahu kekuatan diri, jangan berhenti di situ. Dunia kerja berubah cepat, dan jurusan yang populer hari ini bisa jadi kurang relevan besok. Data dari World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa pekerjaan di bidang data analysis, AI & machine learning, dan sustainability termasuk yang paling dicari dalam lima tahun ke depan.

Di Indonesia sendiri, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan memperlihatkan kebutuhan tenaga kerja di bidang digital, kesehatan, dan pendidikan terus meningkat. Artinya, kalau kamu punya bakat di analisis, kesehatan, atau bidang sosial, tren ini bisa menjadi peluang emas.

Namun, penting untuk tidak hanya menelan mentah-mentah istilah “pekerjaan masa depan”. Tugasmu adalah menerjemahkan tren ke arah jurusan yang relevan. Misalnya, permintaan akan literasi data tidak selalu berarti kuliah harus Informatika. Bisa juga Statistika, Ekonomi Terapan, atau bahkan Akuntansi berbasis analitik. Dengan begitu, pilihanmu lebih realistis dan sesuai peta kebutuhan industri.

3. Audit Kurikulum, Bedah Isi Jurusan

Banyak mahasiswa baru yang memilih jurusan hanya dari namanya tanpa pernah membaca kurikulumnya. Padahal, nama “Ilmu Komunikasi” di kampus A bisa sangat berbeda dengan kampus B. Ada yang fokus ke media digital, ada pula yang lebih menekankan public relations klasik.

Kamu bisa mengakses dokumen resmi kurikulum di situs Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) atau langsung melihat silabus kampus. Perhatikan:

•Apakah ada program magang industri?

•Apakah lulusannya punya jejak kerja yang jelas (lihat tracer study)?

•Apakah dosennya aktif dalam penelitian atau proyek terapan?

Menurut Kemendikbudristek (2022), jurusan dengan link and match kuat ke industri punya tingkat serapan kerja lebih tinggi dibanding yang tidak. Jadi, sebelum memilih, tanyakan: “Skill apa yang sebenarnya akan saya bawa pulang dari jurusan ini?” Kalau hanya teori tanpa praktik, bisa jadi kamu perlu berpikir ulang.

4. Coba Dulu: Eksperimen Aman Sebelum Komitmen

Bayangkan kamu mau beli sepatu mahal. Pasti kamu akan mencobanya dulu, kan? Prinsip yang sama berlaku ketika memilih jurusan. Sebelum benar-benar terjun, lakukan eksperimen kecil. Misalnya:

•Ikuti kursus daring singkat di Coursera, EdX, atau platform lokal seperti Ruangguru.

•Ikut job shadowing atau ngobrol dengan kakak tingkat dan alumni.

•Ambil proyek kecil, misalnya membuat desain grafis untuk organisasi sekolah kalau tertarik dengan Desain Komunikasi Visual.

Studi dari Kolb (2021) tentang experiential learning menekankan bahwa pengalaman langsung lebih berharga daripada sekadar membaca brosur jurusan. Dengan mencoba, kamu bisa tahu apakah rasa penasaranmu bertahan atau justru cepat hilang. Kalau kamu masih semangat belajar setelah 30–60 hari, ada kemungkinan jurusan itu memang cocok.

5. Gunakan Matriks Keputusan

Setelah mengumpulkan semua data, waktunya memutuskan. Masalahnya, otak manusia sering bias. Kita cenderung tergoda oleh nama kampus yang populer atau jurusan yang terlihat prestisius. Di sinilah matriks keputusan bisa menolong.

Buatlah tabel sederhana dengan kriteria:

•Kecocokan dengan bakat (30%)

•Prospek karier 3–5 tahun (25%)

•Kualitas kurikulum dan fasilitas (20%)

•Biaya kuliah dan peluang beasiswa (15%)

•Ekosistem kampus (10%)

Beri skor tiap jurusan yang kamu pertimbangkan, lalu hitung totalnya. Cara ini mirip dengan metode pengambilan keputusan multi-kriteria yang dipakai dalam riset manajemen (Analytic Hierarchy Process). Hasilnya mungkin tidak sempurna, tapi setidaknya lebih rasional daripada memilih hanya berdasarkan “feeling”.

Memilih jurusan kuliah memang keputusan besar, tapi jangan sampai membuatmu lumpuh oleh banyaknya pilihan. Ingat, langkah terbaik selalu dimulai dengan data yang benar, pemahaman diri yang jujur, dan keberanian mencoba. Dunia kerja akan terus berubah, tapi kalau kamu terbiasa mengambil keputusan berbasis bukti, kamu tidak akan mudah terseret arus.

Mulailah dengan hal kecil hari ini: coba tes bakat gratis, baca laporan tren kerja terbaru, atau daftar kursus singkat. Dari situ, kamu akan lebih siap menentukan jurusan yang bukan hanya cocok dengan bakat, tapi juga relevan dengan masa depan.