Pinterpedia.com – Indonesia sering disebut sebagai magnet investasi Asia Tenggara. Pasar besar, sumber daya alam melimpah, tenaga kerja muda, dan posisi strategis di jalur perdagangan dunia—semuanya terdengar sempurna. Tapi di balik angka-angka pertumbuhan dan jargon promosi “ramah investasi”, masih ada serangkaian masalah yang membuat banyak modal enggan masuk atau cepat hengkang.
Berikut tujuh tantangan utama yang masih menghantui iklim investasi Indonesia hingga hari ini.
1. Regulasi yang Berubah Secepat Cuaca
Investor tidak menyukai kejutan. Sayangnya, di Indonesia perubahan aturan bisa terjadi sewaktu-waktu, bahkan di tengah proyek yang sedang berjalan. Mulai dari kebijakan ekspor-impor, pajak, hingga sektor energi dan mineral, semuanya bisa berubah karena dinamika politik atau pergantian pejabat.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengakui bahwa inkonsistensi regulasi masih menjadi hambatan utama bagi investor baru. Beberapa aturan dari pusat dan daerah juga kerap tumpang tindih, membuat izin usaha terasa seperti labirin birokrasi. Di atas kertas, Indonesia memang memiliki Omnibus Law Cipta Kerja yang bertujuan menyederhanakan perizinan, tetapi implementasinya di lapangan belum sepenuhnya seragam.
Akibatnya, banyak investor memilih menunggu ketimbang mengambil risiko di tengah ketidakpastian kebijakan.
2. Birokrasi yang Rumit dan Lamban
Izin usaha di Indonesia kini bisa diajukan secara daring lewat OSS (Online Single Submission), namun kecepatan sistem digital tidak selalu diikuti kecepatan manusia di belakangnya. Dalam banyak kasus, izin teknis di daerah masih harus melewati banyak meja administrasi.
Untuk membangun satu pabrik saja, pelaku usaha bisa membutuhkan puluhan dokumen dari berbagai instansi. Sementara di negara tetangga seperti Vietnam, izin serupa dapat diselesaikan dalam hitungan minggu. Proses yang panjang bukan hanya membuang waktu, tapi juga membuka ruang bagi praktik tidak transparan. Dalam dunia bisnis, waktu sama berharganya dengan modal.
3. Infrastruktur yang Belum Merata
Pemerintah terus mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran, tetapi pemerataan belum sepenuhnya tercapai. Akses logistik di luar Pulau Jawa masih menjadi batu sandungan. Biaya pengiriman barang antarwilayah di Indonesia bisa dua kali lebih mahal dibandingkan negara-negara ASEAN lain.
Pelabuhan, jalan, dan jaringan listrik di beberapa provinsi masih tertinggal. Akibatnya, investasi menumpuk di wilayah yang sudah siap—Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Kalimantan—sementara daerah timur dengan potensi besar seperti Maluku, NTT, dan Papua belum tersentuh optimal. Investasi tidak bisa tumbuh