Pinterpedia.com – Coba kamu bayangin: ruang kerja dengan nuansa cerah, penuh ide-ide segar, dan tak ada ketegangan karena omelan bos yang galak. Di sisi lain, ada satu ruangan kedap suara—dipenuhi tekanan, atasan yang selalu ingin dituruti, dan suasana kerja yang bikin jantung deg-degan tiap hari. Nah, kalau disuruh milih, generasi Z jelas lebih betah di tempat yang pertama.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Zaman udah berubah. Gaya kepemimpinan direktur utama alias dirut juga harus ikut menyesuaikan. Gen Z bukan lagi sekadar “anak baru di kantor”, tapi mereka sekarang ada di barisan utama tenaga kerja yang menentukan masa depan perusahaan. Masalahnya, banyak pemimpin—terutama di posisi atas—masih memimpin dengan gaya lama: keras, tertutup, penuh komando.

Padahal, itu udah nggak relevan. Bahkan bisa bikin talenta muda hengkang diam-diam. Terus, apa sih gaya kepemimpinan yang sebenarnya bikin Gen Z respect dan loyal?

Dirut Bukan Dewa, Tapi Role Model yang Manusiawi

Gen Z itu punya radar tajam untuk membedakan pemimpin yang benar-benar tulus dengan yang cuma pencitraan. Mereka nggak terkesan dengan jabatan atau baju mahal. Mereka peduli pada sikap, nilai, dan bagaimana pemimpinnya memperlakukan orang.

Pemimpin yang manusiawi, yang bisa bilang “saya nggak tahu, mari kita cari sama-sama,” justru lebih dihormati daripada yang sok tahu. Apalagi kalau pemimpinnya mau duduk bareng saat tim lagi stres, atau terbuka soal kesalahan yang dia buat.

Menurut laporan Gallup Workplace Trends (2023), Gen Z lebih tertarik pada pemimpin yang authentic daripada pemimpin yang sempurna.

Transparansi Itu Wajib, Bukan Bonus

Gen Z tumbuh di era digital, di mana semua informasi bisa diakses dalam hitungan detik. Jadi jangan heran kalau mereka frustrasi saat dirut terlalu banyak “menyimpan” informasi penting di balik layar.

Buat mereka, pemimpin yang layak dipercaya adalah pemimpin yang mau terbuka: tentang kondisi finansial perusahaan, target realistis, bahkan tantangan yang sedang dihadapi. Transparansi bukan tanda kelemahan, justru jadi sumber kekuatan kolektif.

Coba bandingkan dua gaya komunikasi ini:

•“Kalian nggak perlu tahu detailnya, cukup kerjakan tugas masing-masing.”

•VS

•“Kita lagi di fase berat secara finansial. Tapi kalau semua departemen kompak, kita bisa keluar dari ini. Saya percaya sama kalian.”

Kamu tahu yang mana yang bikin tim tetap solid.

Fleksibel, Tapi Tetap Punya Arah

Salah satu hal yang paling dibenci Gen Z di kantor: micromanagement. Mereka gak tahan disuruh A-Z tanpa diberi ruang berpikir. Bagi mereka, rasa memiliki terhadap pekerjaan hanya bisa tumbuh kalau diberi kepercayaan.

Dirut yang disukai Gen Z biasanya punya gaya kepemimpinan yang fleksibel tapi tetap visioner. Artinya, dia memberi kebebasan tim untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cara mereka sendiri, tapi tetap dalam kerangka tujuan besar yang jelas.

Menurut laporan Deloitte Millennial and Gen Z Survey (2024), fleksibilitas kerja—baik dari sisi jam maupun cara kerja—menjadi salah satu faktor utama Gen Z dalam memilih bertahan atau keluar dari perusahaan.

Nggak Cuma Ngomongin Profit, Tapi Juga Purpose

Gen Z adalah generasi yang nggak mau kerja cuma demi gaji. Mereka pengen tahu: apa sih dampak dari pekerjaanku? Apa perusahaan ini punya nilai yang aku percaya?

Dirut yang cuma fokus ngomongin revenue atau market share bakal kehilangan simpati. Sebaliknya, pemimpin yang mengangkat isu keberlanjutan, keadilan sosial, atau misi yang lebih besar dari sekadar uang, akan dapat tempat di hati mereka.

Bahkan menurut riset LinkedIn Workplace Culture (2023), lebih dari 75% profesional muda bersedia menolak tawaran gaji lebih tinggi jika perusahaan tersebut tidak selaras dengan nilai pribadi mereka.

Kepemimpinan Kolaboratif Lebih Disukai daripada Hierarkis

Kalau dulu ada ungkapan “pemimpin selalu benar,” buat Gen Z, itu justru sinyal bahaya. Mereka tidak lagi melihat pemimpin sebagai orang yang paling tinggi di menara gading, tapi sebagai kawan kolaborasi yang bisa diajak diskusi.

Dirut yang disukai Gen Z biasanya hadir di forum diskusi sebagai teman berpikir, bukan hakim. Ia mendengar, memberi ruang, dan mengakui kontribusi semua pihak—termasuk yang baru sebulan kerja.

Ini sejalan dengan konsep servant leadership yang makin populer: pemimpin bukan pusat kekuasaan, tapi fasilitator yang melayani tim agar bisa berkembang maksimal.

Dirut yang Mau Tumbuh, Bukan Cuma Menuntut Orang Lain Bertumbuh

Satu lagi mindset yang bikin Gen Z kagum: pemimpin yang juga masih belajar. Mereka menghargai dirut yang rajin ikut webinar, baca buku baru, dan nggak gengsi belajar dari timnya yang lebih muda.

Kenapa ini penting? Karena buat Gen Z, pemimpin bukan guru besar yang udah tahu segalanya. Tapi partner tumbuh yang jujur kalau belum tahu, dan antusias saat menemukan hal baru.

Dirut yang belajar bersama timnya akan menciptakan budaya perusahaan yang terus berkembang, bukan hanya “bertahan hidup.”

Kepemimpinan bukan soal seberapa keras kamu ngomong di rapat, tapi seberapa banyak kamu didengar saat nggak ngomong apa-apa. Di mata Gen Z, dirut yang efektif bukan yang suka ngatur, tapi yang bisa diajak maju bareng.

Gaya lama udah gak laku. Sekarang waktunya jadi pemimpin yang ngena di hati tim, bukan cuma ngasih tekanan dari balik meja besar.