Buat anak di bawah 16 tahun, ada pengaman ekstra. Beberapa fitur nggak bisa dimatikan tanpa izin orang tua. Jadi, kalau ada yang maksa buka-bukaan atau coba-coba masuk ruang gelap dunia maya, orang tua masih punya rem.
Meta juga ngajak sekolah di Amerika lewat program kemitraan. Sekolah bisa melaporkan kalau ada kasus bullying online, sekaligus dapat materi literasi digital. Menarik sih, karena banyak guru yang bahkan lebih gaptek dari muridnya. Tapi langkah ini bisa jadi model kolaborasi: bukan cuma teknologi yang kerja, tapi juga ekosistem sekitar remaja.
Tantangan di Lapangan
Bagian paling rumit tetap di soal verifikasi usia. Facebook pernah dituduh gagal memilah anak di bawah umur yang pura-pura lebih tua. Jadi meskipun fitur remaja kedengerannya keren, apa gunanya kalau yang 20 tahun pura-pura 15 supaya bisa dapat akses tertentu.
Masalah lain adalah soal budaya. Standar konten sensitif di Amerika jelas beda dengan Indonesia. Di sini mungkin foto bikini langsung dianggap tak layak, sementara di luar negeri dianggap biasa. Jadi, siapa yang menentukan batas “aman” buat remaja Indonesia. Mesin atau manusia.
Belum lagi peran orang tua. Banyak keluarga yang bahkan belum tahu cara bikin akun email, tapi anaknya udah lihai bikin akun medsos palsu. Kalau kontrol orang tua hanya formalitas, ya fitur sekuat apa pun bisa ditembus.
Di Indonesia, kasus bullying dan pelecehan online sudah sering muncul. Remaja jadi korban, tapi juga kadang jadi pelaku. Platform seperti Facebook dan Messenger memang tidak sepopuler dulu di kalangan anak muda, tapi tetap dipakai. Apalagi Messenger kadang terhubung dengan nomor telepon, jadi aksesnya