lebih gampang.
Pemerintah kita baru saja punya UU Perlindungan Data Pribadi. Tapi jujur saja, aturan itu masih butuh waktu panjang untuk benar-benar melindungi anak. Jadi, kalau Meta bawa fitur global ini ke Indonesia, penting untuk dipantau. Jangan sampai jadi sekadar jargon marketing, tanpa perubahan nyata di lapangan.
Apakah Cukup Melindungi?
Sampai sini, pertanyaan besarnya adalah apakah akun remaja ini benar-benar solusi. Atau cuma trik lama biar platform kelihatan peduli.
Keamanan digital itu nggak bisa diserahkan pada algoritma saja. Anak-anak tetap butuh didampingi. Kalau orang tua nggak ngerti cara kerja fitur, kalau sekolah nggak pernah bahas literasi digital di kelas, ya percuma juga. AI bisa memblokir pesan asing, tapi nggak bisa menjelaskan perasaan bingung saat anak dapat komentar jahat dari temannya sendiri.
Saran Biar Nggak Jadi Gimmick
Meta harus transparan. Apa definisi konten berbahaya, siapa yang menyaring, gimana cara kerja filternya. Orang tua dan anak harus dikasih tahu bukan cuma “tenang, ini aman” tapi juga bagaimana sistem itu bekerja.
Pemerintah dan lembaga independen bisa ikut mengaudit. Kalau nggak, kita cuma bisa percaya pada kata-kata perusahaan yang bisnis utamanya tetap jualan data dan iklan.
Dan yang terpenting, literasi digital harus ditanamkan sejak dini. Kalau anak ngerti kenapa mereka harus hati-hati, mereka bisa jadi benteng pertama untuk dirinya sendiri.
Peluncuran akun remaja di Facebook dan Messenger adalah langkah yang menarik. Ada kontrol otomatis, ada perlindungan privasi, ada keterlibatan orang tua dan sekolah. Tapi fitur canggih nggak akan berarti kalau pengguna tetap dibiarkan buta.
Pada akhirnya, keamanan anak di dunia maya bukan cuma urusan