Pinterpedia.com – Kalau bicara soal Gunung Semeru, kebanyakan orang langsung terbayang puncak Mahameru yang megah di ketinggian 3.676 mdpl. Tapi minggu-minggu terakhir ini, nama Semeru ramai dibicarakan bukan hanya karena keindahannya, melainkan juga aktivitasnya yang kembali “bersuara”. Pada 3 Agustus 2025, gunung ini tercatat meletus empat kali dalam satu pagi, dengan kolom abu setinggi 900 meter di atas puncak. Hanya sepuluh hari berselang, 13 Agustus 2025, aktivitasnya berulang dengan kolom abu mencapai 1.000 meter. Menurut data PVMBG, dalam setahun terakhir saja, Semeru sudah mengalami lebih dari dua ribu letusan—menjadikannya salah satu gunung api paling aktif di Indonesia.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Nah, di tengah hiruk-pikuk berita erupsi, masih banyak pendaki yang percaya kalau Semeru bukan sekadar gunung aktif. Ada lapisan cerita lain di balik lerengnya—mitos, misteri, dan kisah-kisah yang sudah turun-temurun. Beberapa terdengar mistis, sebagian lagi punya nilai budaya yang dalam. Yuk, kita jelajahi satu per satu.

1. Arcopodo – Arca Tanpa Kepala di Jalur Menuju Puncak

Arcopodo bukan sekadar pos istirahat di jalur menuju puncak Mahameru. Di sana berdiri dua arca batu, tanpa kepala, yang dipercaya sebagai prajurit Majapahit yang “ditugaskan” menjaga gunung. Ukurannya unik, katanya berubah-ubah tergantung siapa yang melihat—entah sugesti atau memang ada daya gaibnya. Pendaki yang lewat sering diminta menjaga sikap dan tidak berlama-lama di area ini. Versi arkeologi menyebut arca ini kemungkinan sisa peninggalan masa Hindu-Buddha, tapi bagi masyarakat setempat, Arcopodo tetap punya aura yang tak bisa diabaikan.

2. Penunggu Ranu Kumbolo – Dewi Berkebaya Kuning

Ranu Kumbolo adalah oasis di tengah perjalanan, tapi juga rumah bagi salah satu legenda paling terkenal di Semeru. Konon, ada sosok perempuan berkebaya kuning yang muncul di tengah danau. Dia tidak mengganggu, tapi dipercaya sebagai penunggu yang menjaga kesucian tempat ini. Karena itu, pendaki dilarang berenang atau membuat keributan. Larangan ini kebetulan juga selaras dengan aturan konservasi TNBTS—yang jelas, mitos dan sains sama-sama setuju bahwa Ranu Kumbolo harus dijaga.

3. Tanjakan Cinta – Ujian Menoleh ke Belakang

Di balik nama romantisnya, Tanjakan Cinta menyimpan aturan unik: siapa pun yang bisa mendaki tanpa menoleh ke belakang akan mendapatkan cinta abadi. Katanya, kalau melanggar, hubungan akan kandas. Legenda ini diyakini berasal dari kisah sepasang kekasih yang mendaki bersama namun berpisah tragis. Meski terdengar seperti drama, banyak pendaki yang tetap mencoba “ritual” ini demi seru-seruan, meski napas ngos-ngosan setengah mati.

4. Kawasan Kelik – Batu Nisan di Tengah Jalur

Kelik adalah area yang ditandai dengan batu nisan sederhana. Menurut cerita, batu ini menjadi penanda lokasi pendaki yang gugur di masa lalu. Suasana di sini memang berbeda—sepi, angin dingin, dan jalurnya terasa lebih sunyi. Sebagian pendaki mengaku merinding saat melewati kawasan ini, apalagi jika mendaki malam hari. Terlepas dari unsur mistis, kelik juga berfungsi sebagai pengingat nyata bahwa Semeru bukan jalur yang bisa diremehkan.

5. Gunung Semeru sebagai Paku Pulau Jawa

Mitos ini berakar dari kisah kosmologi Hindu-Buddha. Dalam versi legenda, Semeru adalah “paku” yang dipindahkan para dewa dari India untuk menstabilkan Pulau Jawa yang dulunya bergoyang di lautan. Posisi Mahameru di puncak Semeru dianggap sebagai pusat spiritual dan geografis pulau ini. Tentu, secara geologi cerita ini tidak literal, tapi nilai simboliknya besar: Semeru adalah penyangga, bukan hanya tanah tapi juga kepercayaan.

6. Puncak Mahameru – Tempat Semedi Para Dewa

Puncak Mahameru dianggap suci, bahkan bagi penduduk setempat ada area yang tidak boleh diinjak sembarangan. Dalam kepercayaan tradisional, puncak ini menjadi tempat semedi dan ritual tertentu, terutama saat perayaan adat. Pendaki disarankan untuk tidak berbicara atau bertindak sembarangan di puncak—bukan hanya soal etika, tapi juga keselamatan mengingat kawasan kawah aktif yang berbahaya.

7. Larangan Bersikap Sombong di Jalur Pendakian

Salah satu kepercayaan yang paling sering diulang adalah jangan pernah meremehkan gunung. Pendaki yang sombong, berbicara seenaknya, atau merusak alam dipercaya akan “ditegur” oleh Semeru—entah lewat cuaca buruk mendadak, jalur yang terasa lebih berat, atau kejadian tak diinginkan lainnya. Dari sisi logis, sikap hormat pada alam memang bisa mencegah banyak masalah.

8. Mbah Dipo – Juru Kunci yang Melegenda

Nama Mbah Dipo begitu dihormati di sekitar Semeru. Ia dikenal mampu membaca tanda-tanda alam dan sering mengingatkan warga sebelum erupsi besar terjadi. Banyak pendaki yang sengaja menemui beliau sebelum naik gunung, sekadar meminta restu atau mendengar wejangan. Meski kini beliau telah tiada, warisan sikap hormat terhadap alam yang diajarkannya masih dipegang oleh komunitas pendaki.

9. Kisah Pendaki yang Diselamatkan Sosok Misterius

Ada banyak cerita tentang pendaki yang tersesat di Semeru lalu mengaku dibantu “orang asing” yang tiba-tiba menghilang setelah memberi petunjuk jalan. Ada yang menggambarkan sosoknya seperti pendaki biasa, ada juga yang bilang seperti warga lokal. Apakah ini hanya halusinasi akibat kelelahan di ketinggian, atau ada “penolong” tak kasat mata? Jawabannya tergantung siapa yang kamu tanya.

10. Suara dan Penampakan di Jalur Malam

Pendaki malam kadang mengaku mendengar suara langkah, bisikan, atau bahkan melihat bayangan melintas di jalur. Menariknya, pengalaman ini sering dilaporkan di titik-titik yang sama—seperti Watu Rejeng atau jalur mendekati Ranu Kumbolo. Ada yang menganggap ini hanya efek imajinasi di tengah gelap dan dingin, tapi bagi yang pernah mengalaminya, rasanya sulit dijelaskan.

Gunung Semeru adalah gabungan antara kekuatan alam yang nyata dan cerita-cerita yang membentuk identitasnya. Mitos dan misteri ini hidup bukan untuk menakut-nakuti, tapi mengingatkan bahwa di balik keindahan, ada kekuatan yang harus dihormati. Apalagi, seperti letusan-letusan terbaru yang mengingatkan kita, Semeru adalah gunung yang aktif dan selalu punya cara untuk “bersuara”.