Jejak Pendekar dari Lembah Sembuya – Bagian 2: “Langkah Pertama”
Alindra terus melangkah meninggalkan Lembah Sembuya, perasaan cemas dan tekad bercampur dalam hatinya. Keris pusaka yang diberikan oleh kakeknya terasa berat di pinggang, namun ia tahu bahwa itu bukan sekadar senjata. Itu adalah simbol takdir yang harus ia terima. Kakek Sembuyo selalu berkata dengan tegas, “Setiap langkahmu adalah bagian dari takdirmu. Jangan ragu, meskipun jalan ini penuh rintangan.”
Langkah pertama yang diambil Alindra terasa semakin berat. Keputusan untuk meninggalkan lembah dan menuju dunia yang tidak ia kenal, tanpa jaminan akan keselamatan, adalah sesuatu yang sulit. Namun, ia tak bisa mundur. Selama hidupnya, kakeknya selalu menjadi teladan bagi dirinya dalam segala hal, termasuk menghadapi ketidakpastian. “Kau harus berani, Alindra. Jangan takut menghadapi kegelapan, karena hanya dengan itu cahaya bisa ditemukan.”
Hari-hari pertama perjalanan Alindra diwarnai oleh hutan lebat yang penuh dengan pohon-pohon besar dan semak belukar yang hampir menutupi jalan setapak. Udara lembab dan dingin menusuk kulitnya, namun ia terus melangkah, menyusuri jalan setapak yang seakan tak berujung. Di sepanjang perjalanan, suara alam menemani langkahnya, dari gemericik sungai yang mengalir hingga suara angin yang berbisik melalui dedaunan. Meski sepi, Alindra merasa seolah ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut hutan. Ia merasa ada mata yang mengawasinya, namun tak bisa ia lihat siapa atau apa yang menyembunyikan diri di balik bayang-bayang hutan.
Hari berganti malam, dan Alindra memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Ia menyalakan api kecil untuk mengusir dingin dan memasak beberapa bahan makanan yang ia bawa. Malam di hutan begitu sunyi, hanya terdengar suara-suara alam yang tenang. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Tiba-tiba, Alindra mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Langkah-langkah itu teredam oleh semak-semak yang lebat, namun keberadaannya terasa jelas. Dalam sekejap, Alindra bangkit, menyembunyikan diri di balik semak-semak yang rapat, berusaha agar tidak terlihat. Dari balik persembunyian, ia mengamati dengan cermat. Beberapa orang berpakaian hitam, sama seperti yang ia lihat sebelumnya di lembah, muncul di hadapannya. Mereka bergerak dengan hati-hati, seolah sedang mencari sesuatu atau seseorang.
“Ini harus cepat, kita tidak bisa menunggu lebih lama,” salah satu dari mereka berbisik dengan suara rendah.
“Kita harus segera menemukan artefak itu. Kekuatan yang terpendam di sini harus segera kita ambil,” jawab yang lain dengan suara serak.
Mendengar percakapan itu, hati Alindra semakin berdebar. Artefak yang mereka bicarakan… apakah itu yang dimaksudkan oleh kakeknya? Apakah itu kekuatan yang lebih besar dari apa yang bisa ia bayangkan? Kakek Sembuyo pernah memberi peringatan padanya, tentang bahaya yang mengancam jika kekuatan itu jatuh ke tangan yang salah. Alindra tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan apa yang mereka cari.
Namun, ia juga tahu bahwa untuk bisa melindungi apa yang berharga, ia harus lebih tahu tentang mereka. Tak ingin terdeteksi, Alindra memutuskan untuk mengikuti mereka dari kejauhan. Ia melangkah perlahan, mencoba untuk tetap tak terdengar dan tak terlihat. Langkahnya ringan, namun penuh kewaspadaan. Ia tahu, jika ia sampai membuat kesalahan, maka nasibnya bisa berakhir tragis. Setiap gerakannya diperhitungkan, setiap nafasnya dikendalikan agar tak menimbulkan suara.
Alindra mengikuti mereka hingga akhirnya mereka sampai di ujung lembah. Di sana, di balik tebing besar yang ditutupi semak belukar, ada sebuah gua yang tersembunyi. Alindra bisa melihat dengan jelas betapa mereka telah berhenti di depan gua itu. Mereka membuka sebuah pintu rahasia yang terletak di sisi tebing, sebuah pintu yang sepertinya hanya diketahui oleh mereka yang memiliki pengetahuan khusus. Pintu itu berkerak dengan ukiran-ukiran kuno yang hampir terhapus oleh waktu, namun Alindra bisa merasakan energi yang kuat mengalir dari sana.
Sambil bersembunyi di balik batu besar, Alindra menahan napasnya. Ia mendengarkan percakapan mereka, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut mereka.
“Ini adalah pintu yang membawa kita pada kekuatan itu. Setelah kita menemukannya, tak ada yang bisa menghalangi kita,” kata seorang pria dengan suara penuh keyakinan.
Alindra merasa tercekik oleh perasaan yang luar biasa. Apa yang mereka bicarakan? Kekuatannya—apakah itu artefak yang dimaksud kakeknya? Apa yang mereka rencanakan dengan kekuatan yang begitu besar? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di kepalanya.
Mereka melangkah masuk ke dalam gua, dan Alindra dengan hati-hati mengikuti mereka dari belakang, tetap dalam bayang-bayang, memastikan tidak ada satu pun gerakan yang menonjol. Gua itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya kecil yang datang dari lentera yang mereka bawa. Namun, meskipun gelap, Alindra bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berharga tersembunyi di dalam sana, sebuah kekuatan yang bisa merubah dunia.
Namun, ia juga tahu, ini adalah ujian pertama bagi dirinya. Keberanian yang ia pelajari dari kakeknya akan diuji. Tidak hanya tubuhnya, tetapi juga hatinya, pikiran, dan nalurinya akan diuji dalam perjalanan ini. Dan, yang lebih penting, ia harus siap menerima kenyataan bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.
“Langkah pertama adalah yang paling berat,” kata kakeknya dulu. “Namun jika kau melangkah dengan hati yang bersih, maka tak ada yang tak mungkin.”
Dengan tekad yang semakin kuat, Alindra melangkah lebih dalam ke dalam gua yang gelap, mengetahui bahwa langkah pertama dari perjalanan panjang ini akan menentukan nasibnya dan nasib lembah Sembuya. Begitu banyak yang harus ia pelajari, dan ia hanya bisa berharap bahwa ia cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang.