Cerpen

Jejak Pendekar dari Lembah Sembuya – Bagian 3: “Di Balik Pintu Rahasia”

Alindra berdiri di ambang gua, tubuhnya terbungkus bayang-bayang yang dalam. Pintu rahasia itu sudah terbuka lebar, dan suara langkah kaki kelompok yang mendahuluinya semakin jauh di dalam. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, ia menatap ke belakang, merasakan kekhawatiran yang tak bisa ia hilangkan. Tanpa kakeknya, ia merasa kehilangan arah. Namun, suara-suara yang terdengar dari dalam gua mengingatkannya akan misinya yang lebih besar.

Alindra melangkah maju dengan hati-hati, mencoba tidak membuat suara. Keris yang diikatkan di pinggangnya terasa lebih berat saat ia melangkah ke dalam gua yang semakin gelap. Udara dingin dan lembab menyelimuti tubuhnya, dan suara tetesan air menambah kesan mencekam. Gua itu terasa seolah memiliki kehidupan sendiri, menyembunyikan banyak rahasia dan ancaman. Setiap langkah yang ia ambil membawa ketegangan yang semakin terasa.

Sementara itu, kelompok misterius yang ia ikuti semakin menjauh di depan, langkah mereka semakin cepat. Alindra tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka terlalu jauh. Mereka sedang mencari sesuatu yang berbahaya, dan ia harus mencegah mereka menemukannya terlebih dahulu.

Begitu sampai di tikungan dalam gua, Alindra merapatkan tubuhnya pada dinding batu yang dingin, mencoba untuk menyembunyikan dirinya. Di depannya, kelompok itu berhenti di sebuah ruang besar, penuh dengan batu-batu besar yang tertata rapi. Beberapa di antaranya memiliki ukiran-ukiran kuno yang hampir terhapus oleh waktu. Dalam cahaya lentera yang mereka bawa, Alindra bisa melihat ke arah tengah ruangan, di mana sebuah altar kuno berdiri tegak. Di atas altar itu, terdapat sebuah benda yang berkilauan, tertutup oleh kain merah tua.

“Ini dia,” kata salah satu pria dengan suara berbisik. “Kekuatan yang telah lama hilang akan kembali ke tangan kita.”

Alindra menahan napasnya, mencoba untuk tetap tersembunyi di balik batu besar. Apa yang mereka temukan di altar itu? Apakah itu yang dimaksud kakeknya? Alindra tahu bahwa benda yang mereka cari bukanlah sesuatu yang boleh jatuh ke tangan yang salah. Kakeknya selalu memperingatkan tentang bahaya artefak-artefak yang bisa merusak keseimbangan dunia.

Dengan perlahan, Alindra menarik keris dari pinggangnya, bertekad untuk menghentikan mereka. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada rasa takut. Di dalam dirinya, membara tekad untuk melindungi desa dan lembah yang sangat ia cintai. Kakeknya selalu berkata bahwa seorang pendekar sejati tidak hanya melawan musuh dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan kebijaksanaan dan hati yang teguh.

Tiba-tiba, seorang pria dari kelompok itu berbalik, seolah merasakan sesuatu yang tidak beres. Alindra langsung menyelinap kembali ke bayang-bayang gua, berusaha agar tidak terlihat. Pria itu menatap ke arah tempat Alindra bersembunyi, namun ia tidak melihat apa pun. Alindra berdoa dalam hati agar ia tetap tidak terdeteksi.

“Kita harus segera pergi,” kata salah satu pria lainnya, “Waktu kita terbatas.”

Dengan cepat, mereka mulai bergerak lagi, mendekati altar dan benda yang berkilauan itu. Alindra tidak bisa membiarkan mereka melanjutkan. Tanpa pikir panjang, ia melangkah keluar dari persembunyian, berlari menuju altar dengan kecepatan yang luar biasa. Dengan satu gerakan cepat, ia menghadang mereka, meletakkan keris di depan tubuhnya.

“Jangan maju lagi,” suara Alindra tegas dan penuh peringatan.

Kelompok itu terkejut, namun salah satu dari mereka langsung meraih senjata yang tersembunyi di balik pakaian mereka. Alindra siap menghadapi mereka, meskipun ia tahu ini akan menjadi pertarungan berat. Hati dan pikirannya terfokus pada satu hal: melindungi artefak tersebut agar tidak jatuh ke tangan yang salah.

“Siapa kau?” tanya pria bertubuh besar yang tampaknya pemimpin kelompok itu.

“Saya adalah penjaga lembah ini,” jawab Alindra dengan suara dingin. “Dan aku tidak akan membiarkanmu membawa benda itu pergi.”

Pertarungan pun dimulai. Alindra bergerak cepat, menghindari serangan pertama yang datang dari pria besar itu. Dengan kelincahan dan keahlian bela dirinya, ia mampu mengelak dari serangan dan membalas dengan gerakan yang mematikan. Setiap gerakan diatur dengan sempurna, tubuhnya seperti air yang mengalir, sulit diprediksi dan dipukul.

Namun, musuh-musuhnya bukanlah orang sembarangan. Mereka memiliki keterampilan bertarung yang sangat tinggi. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan mata tajam dan refleks yang cepat, mulai mengeluarkan senjata rahasia dari balik lengan bajunya. Senjata itu berbentuk seperti cakram kecil, yang dapat dilempar dengan kecepatan luar biasa. Alindra hanya bisa menghindar dengan cepat, menyadari bahwa lawan-lawannya memiliki berbagai keahlian yang berbahaya.

Sementara itu, di luar gua, suasana semakin gelap. Hujan mulai turun dengan derasnya, menambah ketegangan di dalam gua yang sudah penuh dengan suara benturan senjata dan teriakan. Alindra tahu ia harus segera menyelesaikan pertarungan ini, sebelum kelompok itu mendapatkan keunggulan. Ia mengumpulkan segala energi yang ia miliki, mengingat pesan kakeknya yang selalu mengajarkan untuk tidak menyerah.

Dengan satu gerakan cepat, Alindra berhasil menjatuhkan pria besar itu, dan wanita yang lebih cepat mencoba menyerang dari belakang. Namun, Alindra sudah siap. Dengan kelincahan luar biasa, ia berputar, memukul senjata wanita itu hingga terlempar jauh. Dalam beberapa detik, pertarungan itu berakhir, dengan Alindra berdiri tegak di hadapan mereka.

Kelompok itu terdiam, menyadari bahwa mereka telah kalah. Alindra berdiri di depan altar, melindungi artefak yang berkilau di atasnya. “Ini bukan untuk kalian,” katanya dengan suara tegas. “Kekuatan ini harus tetap tersembunyi. Hanya mereka yang bijaksana yang bisa menggunakannya.”

Kelompok itu mundur perlahan, tak ingin melawan lebih lanjut. Mereka tahu, bahwa meskipun mereka mencari kekuatan, Alindra adalah penjaga yang lebih kuat, dan ia tak akan membiarkan mereka merusaknya.

Alindra menatap artefak yang bersinar di hadapannya. Ia tahu bahwa tugasnya belum selesai. Ini baru awal dari perjalanan panjangnya, dan banyak hal yang harus ia pelajari. Tapi, untuk saat ini, ia telah melindungi lembah dan dunia dari ancaman yang lebih besar.

Setelah pertarungan itu, Alindra berdiri tegak, menatap gua yang kini kembali tenang. Perjalanan panjangnya baru saja dimulai.