ini dikenal unik karena dikelilingi mayoritas masyarakat Buddha, namun tetap memegang teguh tradisi Katolik. Keunikan itu membuat desa ini sering jadi bahan studi budaya dan akhirnya dijadikan latar film horor.
Di sini, kesurupan bukan hanya dilihat sebagai gangguan roh, tapi juga ujian iman. Ada ketegangan antara mengikuti ritual Katolik yang resmi dan mempertahankan kepercayaan lokal lewat praktik penyembuh roh atau yao. Film sengaja menempatkan dua dunia ini dalam satu panggung, memperlihatkan betapa kompleksnya masyarakat dalam menafsirkan fenomena supranatural.
Representasi Ritual Eksorsis di Layar
Adegan eksorsisme dalam film ini dibuat otentik. Sutradara mewawancarai imam dan praktisi lokal untuk memastikan detail ritual tidak sekadar tempelan. Doa-doa Katolik digambarkan berdampingan dengan mantra penyembuh tradisional. Hasilnya, penonton diajak melihat eksorsis bukan sekadar tontonan dramatis, tapi sebagai ritual dengan makna spiritual mendalam.
Yang membuatnya lebih kuat, film ini menggunakan bahasa lokal Isan dan Phu Thai dalam dialog. Kehadiran bahasa sehari-hari membuat adegan kesurupan terasa dekat dan meyakinkan, seolah-olah kita sedang menyaksikan peristiwa nyata di desa, bukan sekadar lakon di layar.
Fenomena kesurupan selalu berada di ruang abu-abu. Gereja Katolik punya ritual eksorsisme dengan tata cara resmi, sementara penyembuh lokal menggunakan doa dan sesaji yang diwariskan turun-temurun. Tha Rae The Exorcist menegaskan bahwa konflik antara keduanya tidak hanya soal cara, tapi juga identitas.
Apakah roh jahat hanya bisa dikalahkan dengan doa Latin? Ataukah penyembuh tradisional lebih memahami karena ia sudah lama hidup di tengah masyarakat yang percaya pada roh leluhur? Pertanyaan itu dibiarkan terbuka, membuat penonton merenung alih-alih sekadar ketakutan.
Film horor sering kali hanya