menimbulkan jeritan di bioskop. Tapi film ini punya dampak lebih jauh. Ia membuat penonton bertanya-tanya: bagaimana jika fenomena kesurupan benar-benar terjadi di sekitar kita? Apakah kita akan memanggil dokter, imam, atau penyembuh tradisional?
Riset psikologi menunjukkan, tontonan horor bisa menjadi cara bagi masyarakat memproses ketakutan kolektif. Dalam konteks ini, kesurupan di film bukan hanya soal setan masuk ke tubuh manusia, tapi juga simbol dari konflik batin masyarakat: antara iman, tradisi, dan modernitas.
Kritik dan Apresiasi
Sejauh ini, Tha Rae The Exorcist mendapat pujian karena menghadirkan horor yang kaya akan lapisan budaya. Penggunaan aktor lokal dan setting otentik menambah kesan realistis. Namun kritik juga muncul. Ada yang menilai film ini terlalu bermain di ranah sensasi, menonjolkan penderitaan karakter yang kesurupan secara berlebihan. Ada pula yang khawatir representasi ritual Katolik bisa menimbulkan kontroversi.
Meski begitu, sulit menampik bahwa film ini berhasil menghadirkan horor yang segar. Ia tidak hanya menawarkan kengerian, tapi juga ruang refleksi.
Dari The Exorcist tahun 1973 hingga Tha Rae The Exorcist 2025, tema kesurupan tidak pernah pudar. Alasannya sederhana: kesurupan menyentuh sesuatu yang paling mendasar dari manusia, yaitu rasa takut kehilangan kendali atas tubuh dan jiwa.
Di Asia Tenggara, kesurupan punya lapisan tambahan: ia terikat dengan budaya, agama, dan identitas kolektif. Itulah mengapa film ini terasa relevan, karena ia tidak hanya mengulang formula lama, tapi juga menambahkan konteks lokal yang otentik.
Tha Rae The Exorcist bukan sekadar horor baru dari Thailand. Ia adalah karya yang memperlihatkan kesurupan sebagai fenomena budaya, spiritual, dan sosial. Dengan latar desa Katolik yang unik,