menjadi melodrama kaku, Menuju Pelaminan justru dipoles sebagai komedi romantis. Penonton diajak melihat betapa lucu sekaligus merepotkannya menyatukan dua keluarga yang berbeda latar budaya. Bayangkan siraman ala Jawa berdampingan dengan pasambahan ala Minang — benturan yang bisa mengundang tawa, tapi juga menegangkan ketika restu orang tua dipertaruhkan.
Yang membuat film ini penting bukan hanya ceritanya, melainkan cara ia memperlihatkan keragaman Indonesia. Lokasi syuting di Yogyakarta dan Padang bukan sekadar panorama, tapi bagian dari napas cerita. Penonton disuguhkan arsitektur tradisional, pakaian adat, bahkan bahasa yang menjadi jembatan sekaligus jurang.
Menuju Pelaminan juga punya latar belakang menarik di balik layar. Film ini lahir dari forum pitching pendanaan film nasional, artinya ide dan skenarionya dipilih karena dianggap punya daya tarik khusus: menghibur sekaligus mempromosikan budaya. Itu sebabnya film ini tidak hanya bicara cinta dua anak muda, tapi juga cinta terhadap warisan tradisi.
Buat generasi muda yang sering kali merasa adat itu kaku atau mengikat, film ini bisa jadi kaca pembesar: ternyata adat juga bisa menjadi bahan komedi, bahan diskusi, dan justru penguat cerita.
Film Sore: Istri dari Masa Depan
Kalau dua film sebelumnya bicara konflik hati dan adat, Sore: Istri dari Masa Depan mengambil jalur berbeda. Rilis 10 Juli 2025, film ini memadukan romantisme dengan elemen fiksi ilmiah.
Ceritanya unik: seorang pria lajang di luar negeri tiba-tiba kedatangan seorang perempuan yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Ia tidak datang untuk bernostalgia, melainkan memberi “peringatan” agar hubungan mereka kelak tidak berantakan. Dari situ, penonton diajak menyaksikan perdebatan manis sekaligus getir antara idealisme masa depan dan realitas masa kini.
Film ini menyinggung gagasan sederhana namun sering kita lupakan: pernikahan bukan soal pesta, melainkan soal konsistensi. Apa jadinya kalau kita bisa tahu lebih dulu bahwa kebiasaan buruk hari ini akan merusak rumah tangga esok? Apakah kita berani berubah sekarang, atau tetap nyaman dengan diri yang lama?
Meskipun berbalut fantasi, Sore tetap terasa relevan. Banyak pasangan yang mungkin tak punya mesin waktu, tapi sering berandai-andai: “Seandainya dulu aku begini, mungkin hubunganku tidak berakhir begitu.” Film ini menjadikan andai-andai itu nyata di layar.
Ketiga film ini jelas berbeda jalur: satu menekankan dilema cinta segitiga, satu