merayakan benturan adat, dan satu lagi bermain dengan konsep waktu. Namun, semuanya bertemu di satu titik: pernikahan sebagai peristiwa yang jauh lebih rumit dari sekadar duduk manis di pelaminan.
Tahun 2025, penonton tidak hanya disuguhi drama cinta remaja yang manis-manis saja. Ada ruang refleksi, ada kritik sosial, ada tawa karena adat yang ribet, bahkan ada renungan futuristik tentang diri sendiri.
Yang menarik, ketiga film ini muncul berdekatan waktunya. Juli, Oktober awal, dan Oktober pertengahan. Seakan-akan sineas Indonesia sepakat mengajak kita berpikir soal nikah dalam satu tahun yang sama. Tidak berlebihan jika menyebut 2025 sebagai “tahun pernikahan” bagi sinema Indonesia.
Bagi penonton, hadirnya tiga film ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga kesempatan untuk menimbang ulang pandangan kita soal menikah. Apakah kita sudah benar-benar siap, atau hanya terbawa arus? Apakah kita mau melihat adat sebagai penghalang, atau justru perekat? Dan apakah kita berani mengubah diri hari ini demi masa depan yang lebih baik?
Yakin Nikah, Menuju Pelaminan, dan Sore: Istri dari Masa Depan menawarkan jawaban berbeda-beda. Tapi satu hal yang pasti: pernikahan di layar lebar tahun ini bukan sekadar pesta resepsi, melainkan kisah penuh warna yang bisa membuat kita tertawa, terharu, bahkan bercermin.
Tags: