muncul di layar: sempit, berdebu, brutal.
Titli, anak bungsu dari keluarga pencuri mobil, ingin keluar dari lingkaran kekerasan, tapi dunia memaksanya memilih antara cinta dan kebebasan.
Film ini keras tanpa perlu darah berceceran. Kamera handheld membuat penonton seolah ikut terkurung di ruang keluarga yang penuh rahasia.
Behl menulisnya bukan untuk hiburan, tapi sebagai pengakuan: bahwa keluarga bisa jadi penjara paling halus.
5. Kanyaka Talkies (2013)
Film berbahasa Malayalam ini disutradarai oleh K. R. Manoj, mengisahkan bangunan bekas bioskop film dewasa yang diubah menjadi gereja.
Dari sinilah perbenturan moral, agama, dan sejarah dimulai. Pendeta yang mengurusnya mulai terganggu oleh suara-suara masa lalu: sisa kenangan penonton dan film yang pernah diputar di ruang itu.
Kisahnya absurd tapi nyata, spiritual sekaligus sensual. Ia menyinggung bagaimana ruang publik berubah makna seiring perubahan moral masyarakat.
Film ini jarang dibicarakan, tapi di festival film Eropa, banyak kritikus menilainya sebagai alegori brilian tentang tubuh dan dosa.
6. Khyanikaa: The Lost Idea (2017)
Disutradarai Amartya Bhattacharyya, film ini nyaris seperti puisi visual. Seorang pelukis dan seorang fotografer bersaing untuk menemukan “ide” yang kabur dari benak mereka.
Narasinya absurd, sinematografinya memukau, tapi maknanya tajam: di dunia yang terlalu bising, gagasan murni sering lenyap sebelum sempat diucapkan.
Bahasa filmnya tidak umum—kadang seperti mimpi yang tak selesai, kadang seperti debat di dalam kepala sendiri. Tapi justru di sanalah daya magisnya: ia tidak menjawab, ia menggoda untuk berpikir.
7. Amma Ariyan (1986)
Karya John Abraham (bukan aktor terkenal itu, tapi sutradara revolusioner) ini adalah film kolektif—dibiayai, difilmkan, dan didistribusikan oleh komunitas.
Ceritanya tentang sekelompok orang yang berjalan membawa kabar kematian seorang aktivis muda kepada ibunya. Namun film ini lebih dari sekadar perjalanan: ia potret sosial tentang kehilangan idealisme dan beban sejarah politik India.
Tak ada pemeran utama, tak ada efek. Yang ada hanya wajah-wajah rakyat yang berjalan di jalanan nyata.
Film ini seperti doa panjang yang dibisikkan untuk generasi yang lupa bertanya.
Ketujuh film ini bukan tontonan ringan, tapi setiap menitnya mengajarkan cara baru melihat dunia. Mereka menolak menjilat pasar, memilih bicara jujur tentang manusia, dosa, dan absurditas modernitas.
Ketika film-film besar berlomba menjual sensasi, film-film kecil seperti ini menawarkan renungan.