uang. Spotify selalu dipuji karena berhasil membuat musik lebih mudah diakses. Tapi buat musisi, aksesibilitas itu nggak selalu berarti penghidupan yang layak.
Bayaran per sekali diputar (stream) di Spotify sangat kecil, rata-rata hanya sekitar 0,003 sampai 0,005 dolar. Kedengarannya memang ada angka, tapi coba hitung: kalau lagumu diputar 10 ribu kali, kamu cuma dapat sekitar 30–50 dolar. Jauh dari cukup untuk membiayai studio, mixing, atau bahkan sekadar beli alat musik baru.
Masalah tambah rumit karena sistem pembagian royalti Spotify memakai model “pro rata”, di mana semua uang langganan dikumpulkan, lalu dibagi berdasarkan total putaran musik di platform. Artinya, meskipun kamu bayar langganan hanya untuk mendengar band indie favoritmu, sebagian besar uangmu tetap akan jatuh ke artis-artis besar yang mendominasi stream global.
Banyak musisi kecil merasa sistem ini menyingkirkan mereka, seolah-olah hanya artis mainstream yang berhak hidup dari musik. Kritik ini sudah lama ada, tapi kini dijadikan alasan kuat untuk benar-benar cabut. Mereka ingin menunjukkan bahwa musik nggak bisa terus-menerus diperlakukan seperti angka statistik yang dingin.
3. Gerakan Moral Anti-Kapitalis
Alasan ketiga lebih filosofis, tapi justru semakin relevan di 2025: banyak musisi merasa Spotify sudah terlalu “kapitalistis”. Musik diperlakukan semata-mata sebagai komoditas, sesuatu yang harus sesuai algoritma, masuk playlist populer, dan menghasilkan grafik pertumbuhan.
Padahal, bagi banyak musisi, musik adalah ruang bebas, bukan sekadar produk yang harus menuruti selera pasar global. Mundur dari Spotify jadi semacam bentuk protes, cara untuk berkata: “kami nggak mau seni kami didefinisikan oleh algoritma.”
Contohnya terlihat dari band indie maupun musisi lokal di berbagai negara, termasuk