Indonesia. Ada yang memutuskan mundur sebagai bentuk solidaritas terhadap isu kemanusiaan global, ada pula yang sekadar ingin melepaskan diri dari jeratan logika kapitalisme. Keputusan ini memang membuat mereka kehilangan panggung besar, tapi di sisi lain membuka peluang untuk mendekatkan diri langsung ke komunitas pendengar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Retaknya Citra Raksasa Musik Streaming

Apakah Spotify runtuh gara-gara musisi pergi? Tentu tidak. Dengan lebih dari 600 juta pengguna aktif, Spotify masih raksasa yang susah digoyang. Tapi reputasi mereka jelas terancam.

Setiap kali ada artis besar mengumumkan hengkang, pemberitaan internasional langsung ramai. Isu soal etika, royalti, dan kapitalisme musik jadi bahan diskusi publik. Buat Spotify, kehilangan satu-dua artis mungkin nggak signifikan secara finansial, tapi dampak reputasi bisa jauh lebih besar.

Bagi musisi, mundur dari Spotify memang penuh risiko: kehilangan audiens global, kehilangan promosi algoritma, dan kehilangan pemasukan walau kecil. Namun, buat mereka yang berangkat dari sikap etis, risiko itu sepadan. Mereka lebih memilih pendengar yang mendukung secara sadar daripada jutaan pendengar pasif yang hanya datang karena rekomendasi mesin.

Jalan Alternatif Platform Bermusik

Pertanyaan besar selanjutnya: kalau bukan di Spotify, di mana kita bisa dengar musik mereka?

Beberapa musisi kembali mengandalkan Bandcamp atau menjual musik langsung di website pribadi. Ada juga yang mencoba model berbasis blockchain untuk pembagian royalti yang lebih transparan. Intinya, mereka lagi mencari jalur distribusi yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih dekat dengan pendengar sejati mereka.

Mungkin ini awal dari peta musik digital yang baru. Bukan lagi didominasi satu raksasa, tapi terbagi dalam banyak platform dengan nilai dan sistem yang berbeda. Bagi pendengar,

Halaman:
1 2 3 4