Pinterpedia.com – Bagi seorang musisi, tubuh adalah bagian dari instrumen. Tidak hanya jari yang menekan senar, bibir yang meniup terompet, atau diafragma yang menahan napas panjang saat menyanyi, tetapi juga ketahanan fisik yang sering diuji dalam jam latihan berulang tanpa henti. Di balik performa yang tampak memukau di panggung, ada cerita tentang tubuh yang terbiasa dengan tekanan dan rasa tidak nyaman. Inilah yang baru saja diungkap penelitian: musisi ternyata memiliki cara unik dalam merespons rasa sakit, berbeda dengan orang yang tidak bergelut di dunia musik.
Penelitian ini mengamati bagaimana tubuh musisi bereaksi terhadap stimulus nyeri dibanding non-musisi. Hasilnya cukup mencengangkan. Ketika orang biasa merasakan sakit sebagai sinyal menghindar, musisi justru menunjukkan pola respons yang berbeda. Bukan berarti mereka kebal, melainkan cara otak dan sistem saraf mereka memproses nyeri tidak sama. Ada semacam “adaptasi” yang terbentuk akibat bertahun-tahun terbiasa dengan sensasi fisik saat berlatih atau tampil. Bayangkan seorang pemain biola yang setiap hari menahan tekanan senar di ujung jari, atau drummer yang harus berulang kali menghantam stik hingga pergelangan terasa nyeri. Rasa sakit itu tidak hilang, tetapi tubuh belajar menanganinya dengan cara khusus.
Musik, Otak, dan Ambang Nyeri
Sejumlah peneliti neurologi mengaitkan fenomena ini dengan bagaimana musik memengaruhi otak. Aktivitas musikal melibatkan banyak area otak sekaligus: korteks motorik, sensorik, hingga sistem limbik yang mengatur emosi. Kombinasi kompleks ini ternyata juga berdampak pada cara tubuh menafsirkan nyeri. Studi dalam Frontiers in Psychology (2021) misalnya, menjelaskan bahwa musisi cenderung memiliki ambang nyeri lebih tinggi karena terbiasa memfokuskan perhatian pada detail musik, bukan pada rasa sakit. Fokus mendalam ini memungkinkan mereka mengalihkan perhatian dari stimulus nyeri ke aktivitas musikal yang sedang dijalankan.
Tidak hanya itu, latihan musik jangka panjang diyakini meningkatkan pelepasan endorfin, zat kimia alami otak yang dikenal mampu meredakan rasa sakit. Efeknya mirip dengan pelari maraton yang merasakan “runner’s high.” Bedanya, musisi mendapatkannya dari alunan nada dan sinkronisasi tubuh dengan instrumen. Hal ini juga menjelaskan mengapa banyak musisi bisa tetap tampil meski mengalami cedera ringan. Mereka seolah “menyetel ulang” persepsi sakit agar tidak mengganggu permainan.
Ketahanan atau Risiko Tersembunyi?
Namun adaptasi ini bukan tanpa konsekuensi. Musisi yang terbiasa mengabaikan rasa