sakit berpotensi mengalami cedera serius tanpa disadari. Data dari British Journal of Pain (2022) menunjukkan banyak musisi profesional yang mengalami masalah muskuloskeletal kronis akibat postur dan gerakan berulang, tetapi tetap menunda perawatan karena terbiasa menoleransi nyeri. Inilah paradoksnya: kemampuan untuk menahan sakit memang membuat mereka bisa tampil konsisten, tapi juga berisiko membuat kerusakan fisik semakin parah.
Contohnya terlihat pada pianis yang kerap menderita sindrom carpal tunnel, atau pemain gesek yang menghadapi nyeri bahu berkepanjangan. Banyak di antara mereka yang tidak segera mencari pertolongan karena merasa sudah terbiasa dengan rasa sakit. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi gangguan permanen. Hal ini menggarisbawahi bahwa meskipun musik melatih daya tahan tubuh, rasa sakit tetaplah sinyal penting yang seharusnya tidak diabaikan.
Di sisi lain, temuan ini membuka peluang baru dalam bidang terapi. Jika musisi dapat melatih otak mereka untuk memodulasi rasa sakit, mengapa teknik serupa tidak dikembangkan untuk membantu pasien dengan nyeri kronis? Musik sudah lama dikenal sebagai terapi non-farmakologis yang efektif. Sebuah penelitian dari McGill University menunjukkan mendengarkan musik favorit dapat menurunkan intensitas nyeri hingga 20 persen pada pasien pasca operasi. Artinya, pemahaman tentang bagaimana musisi mengelola nyeri bisa menjadi kunci merancang strategi perawatan baru.
Musisi juga memberi pelajaran tentang bagaimana perhatian dan emosi dapat mengubah pengalaman fisik. Mereka tidak hanya memainkan nada, tetapi juga belajar mengelola stres, cemas, dan rasa lelah. Semua itu turut memengaruhi bagaimana tubuh merasakan sakit. Ketika kita paham bahwa nyeri bukan hanya fenomena biologis, melainkan juga psikologis, maka musik dapat menjadi jembatan yang menarik antara seni dan kesehatan.
Penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Apakah semua jenis musisi memiliki respons yang sama, atau ada perbedaan antara pemain drum, penyanyi opera, dan gitaris klasik? Bagaimana dengan tingkat pengalaman dan apakah musisi amatir juga menunjukkan adaptasi serupa, atau efek ini hanya muncul setelah bertahun-tahun latihan intensif? Pertanyaan-pertanyaan ini masih terbuka, tetapi temuan awal sudah cukup untuk membuat kita berpikir ulang tentang hubungan antara musik dan tubuh manusia.
Penemuan bahwa musisi menanggapi rasa sakit berbeda dibanding orang biasa memberi perspektif baru tentang seni, fisiologi, dan daya tahan manusia. Musik ternyata bukan hanya hiburan atau ekspresi estetis, tetapi juga latihan yang


