Bukan Drama

Pekerjaan rumah sering bikin drama karena banyak pasangan main “asumsi.” Ada yang mengira pasangannya tahu ia sudah lelah, padahal pasangannya menganggap semua baik-baik saja. Ada pula yang merasa tersinggung karena kerjaannya tidak pernah diapresiasi, tapi memilih diam sambil mendamparkan wajah masam.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pakar sosiologi menekankan pentingnya komunikasi terbuka. Artinya, jangan biarkan unek-unek soal pekerjaan rumah menumpuk. Katakan saja: “Aku merasa kecapekan kalau tiap malam harus beresin dapur sendirian, bisa nggak kita gantian?” atau “Aku lebih suka kalau kamu yang belanja karena kamu lebih tahu kebutuhan dapur.”

Komunikasi terbuka bukan cuma soal protes, tapi juga apresiasi. Mengucapkan “terima kasih” setelah pasangan cuci baju atau menyiapkan makan malam mungkin terdengar kecil, tapi efeknya besar. Pasangan merasa dihargai, bukan dianggap pekerja gratisan.

Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa pasangan sesama jenis cenderung lebih sering bernegosiasi soal tugas rumah ketimbang pasangan heteroseksual. Alasannya sederhana: mereka tidak bisa mengandalkan stereotip gender tradisional seperti “laki-laki harus ini, perempuan harus itu.” Akibatnya, mereka lebih banyak ngobrol, lebih banyak kompromi, dan hasilnya terasa lebih adil.

Komunikasi terbuka bukan berarti harus selalu mulus. Ada kalanya diskusi terasa kaku atau malah memicu debat. Tapi daripada hidup dalam tebakan dan asumsi, lebih baik obrolan agak panas sesekali demi kesepakatan yang jelas.

3. Menghargai Kerja yang Sering Tak Terlihat

Ada jenis pekerjaan rumah yang tidak pernah masuk hitungan, padahal justru paling menguras energi: kerja mental. Contohnya, siapa yang mengingat kapan tagihan listrik harus dibayar, siapa yang merencanakan menu seminggu, siapa yang ingat jadwal vaksin anak. Semua itu disebut “mental load” atau

Halaman:
1 2 3 4