beban mental.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Masalahnya, kerja mental sering dianggap remeh karena tidak menghasilkan benda fisik. Padahal, tanpa manajemen tak terlihat ini, rumah bisa kacau. Kalau beban mental hanya ditanggung satu pihak, biasanya perempuan dalam pasangan heteroseksual, cepat atau lambat rasa tidak adil akan muncul.

Pakar sosiologi menekankan perlunya mengakui dan menghargai kerja ini. Pengakuan bisa dalam bentuk nyata misalnya, pasangan ikut serta dalam merencanakan menu atau gantian mengurus janji dokter, atau dalam bentuk simbolik seperti sekadar mengucapkan bahwa kerja tersebut penting.

Dengan menghargai pekerjaan tak berbayar, pasangan tidak hanya berbagi beban fisik, tapi juga beban pikiran. Ini yang bikin keseimbangan terasa lebih nyata, bukan sekadar pembagian cuci piring atau menyapu.

Kalau ditanya apa gunanya ribut soal cuci piring, jawabannya: ini bukan sekadar soal piring. Tugas rumah adalah representasi dari rasa adil dalam hubungan. Kalau salah satu merasa lebih terbebani, biasanya akan muncul rasa tidak dihargai. Dari situ bisa merembet ke hal-hal lain, bahkan merusak ikatan emosional.

Dengan fleksibilitas, komunikasi terbuka, dan penghargaan pada kerja tak terlihat, pasangan punya fondasi lebih kuat untuk membangun rumah tangga yang sehat. Tidak harus sempurna 50:50, tapi cukup adil sehingga keduanya merasa dihargai.

Keadilan dalam rumah tangga tidak datang dari kalkulator, melainkan dari rasa saling memahami. Dan tiga tips ini adalah kompas sederhana untuk mengarahkan langkah, supaya drama dapur atau ruang tamu tidak jadi bom waktu.

Pekerjaan rumah memang tidak pernah habis. Hari ini selesai, besok muncul lagi. Tapi itu bukan berarti ia harus jadi sumber konflik abadi. Dengan pendekatan yang lebih lentur, komunikasi yang jujur, dan

Halaman:
1 2 3 4