tapi kenyataannya mirip ular piton yang kehilangan arah. Ada yang berdiri ke samping, ada yang setengah nyelip di tengah, ada juga yang pura-pura “numpang berdiri” tapi sebenarnya ngincar kesempatan masuk lebih dulu.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Barisan antri di Indonesia sering kali kehilangan bentuk. Bukan karena orangnya nggak mau tertib, tapi karena ruangnya memang tidak didesain untuk menampung antrian panjang. Akhirnya orang bikin jalur sendiri, dan muncullah kebingungan. Mana depan, mana belakang, semua kabur.

Yang sering jadi korban tentu mereka yang sudah berdiri rapi dari awal. Tiba-tiba ada orang yang dengan polos berkata, “Saya dari tadi di sini kok.” Padahal jelas-jelas barisan berubah arah lima menit lalu.

3. Fenomena titip antrian yang lebih sakti dari cheat game

Satu orang berdiri di depan, tampak heroik mempertahankan posisi. Kita pikir, oke lah, dia sabar banget. Eh, tiba-tiba tiga atau empat orang muncul dari belakang, langsung bergabung ke posisinya. Alasannya sederhana, “Saya bareng dia kok.”

Titip antrian ini memang khas sekali. Seolah-olah kita tidak sedang berbicara tentang keadilan, tapi tentang solidaritas kelompok. Yang rugi tentu saja orang-orang di belakang yang benar-benar mengantri sendirian. Waktu tunggu jadi molor, suasana jadi sumpek, dan rasa kesal pun makin mengental.

Yang lebih parah, titip antrian ini kadang terjadi di tempat yang sensitif, seperti di rumah sakit. Bayangkan pasien yang sakit harus menunggu lebih lama hanya karena sekelompok orang main titip tempat. Rasanya seperti ditampar dua kali, sakit fisik plus sakit hati.

4. Jalur prioritas yang disalahgunakan

Sebenarnya jalur prioritas itu ide bagus. Lansia, ibu hamil, penyandang disabilitas, semua memang butuh perlakuan

Halaman:
1 2 3 4