dingin atau cuek. Padahal, di balik itu ada kesulitan mendasar dalam mengidentifikasi emosi. Banyak kasus menunjukkan, alexithymia sering muncul setelah trauma atau pola asuh yang menekan ekspresi emosi sejak kecil.
Kondisi ini tidak berbahaya secara langsung, tapi perlahan membuat seseorang terasing dari dirinya sendiri.
4. Gejala Fisik yang Berasal dari Stres (Somatisasi Ringan)
Ada orang yang terus merasa pusing, nyeri perut, atau sesak tanpa penyebab medis jelas. Saat diperiksa, semua hasil normal. Namun rasa tidak nyaman itu nyata, itulah somatisasi ringan.
Tubuh kadang berbicara lebih jujur daripada pikiran. Saat emosi tertekan, tubuh mengambil alih fungsi ekspresi dengan cara menampilkan gejala fisik. Masalahnya, masyarakat kita masih menganggap bahwa “asal hasil lab normal berarti sehat.” Padahal bisa jadi, tubuh sedang membawa pesan yang belum sempat diterjemahkan pikiran.
5. Kecemasan Kronis yang Tampak Sepele
Tidak semua kecemasan muncul dalam bentuk panik berat. Banyak orang hidup dengan rasa was-was terus-menerus, seolah-olah ada bahaya yang tidak jelas sumbernya. Mereka tetap bekerja, tetap berfungsi, tapi di kepala selalu ada narasi “bagaimana kalau gagal?” atau “bagaimana kalau aku salah?”.
Kecemasan semacam ini sering dinormalisasi. “Namanya juga perfeksionis,” kata orang-orang. Padahal, jika dibiarkan, kecemasan kronis bisa membuat tubuh tegang, tidur tidak nyenyak, dan mengikis rasa percaya diri sedikit demi sedikit.
6. Pola Pikir Negatif yang Berulang (Distorsi Kognitif Ringan)
Seseorang bisa tampak tenang di luar, tapi di dalam pikirannya berlangsung perdebatan tak berujung. Ia memutar ulang kejadian masa lalu, membayangkan skenario buruk, dan menilai diri terlalu keras. Pola ini disebut distorsi kognitif.
Bentuk paling umum adalah overthinking—terlalu banyak berpikir tanpa solusi. Meski tampak remeh, distorsi kognitif bisa menjadi fondasi dari depresi dan gangguan kecemasan. Sayangnya, masyarakat sering menganggapnya sebagai kebiasaan wajar. “Ya, memang aku orangnya mikiran,” padahal itu tanda tubuh dan pikiran sedang kehilangan keseimbangan.
7. Penekanan Emosi (Emotional Suppression)
Ini adalah kondisi yang paling sering dialami tanpa disadari. Orang yang menekan emosinya terlihat kuat, logis, dan dewasa. Tapi sebenarnya, ia menumpuk perasaan yang tidak tersalurkan.
Kita hidup di budaya yang cenderung tidak nyaman dengan emosi. Menangis dianggap lemah, marah dianggap tidak sopan, sedih dianggap manja. Akibatnya, banyak orang belajar untuk “menyimpan” segalanya. Lama-lama, penyimpanan