Pinterpedia.com — Di antara deretan gorengan yang biasa kita temui di pinggir jalan, sukun sering kali dilewatkan begitu saja, tanpa banyak diperhatikan. Padahal, di balik tampilannya yang sederhana dan aromanya yang khas saat baru diangkat dari minyak panas, buah ini menyimpan nilai gizi yang tidak kalah dari sumber karbohidrat populer lainnya seperti kentang atau roti. Sejatinya Sukun merupakan bagian dari sejarah pangan Nusantara yang kini mulai naik lagi pamornya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Sukun “Breadfruit” Tropis Nusantara

Sukun memiliki nama ilmiah Artocarpus altilis. Pohonnya tinggi dan rindang, dengan daun besar yang menjadi ciri khas di banyak halaman kebun rumah di pedesaan. Buah ini awalnya berasal dari Kepulauan Pasifik Selatan dan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia berabad-abad lalu bersama para pelaut Austronesia. Uniknya, dalam beberapa catatan kolonial, sukun pernah disebut sebagai “breadfruit”, karena setelah digoreng atau dipanggang, teksturnya menyerupai roti empuk.

Sukun kemudian menjadi bagian penting dari budaya pangan masyarakat pesisir dan pedesaan. Di banyak daerah, pohon sukun dianggap “tanaman keluarga” karena mudah tumbuh dan hasilnya bisa dinikmati bersama. Satu buah besar bisa memberi makan satu keluarga. Dalam konteks sosial, sukun menjadi simbol kemandirian dan kebersamaan mengenai makanan.

Kaya Gizi dan Rendah Lemak

Di sisi ilmiah, sukun menyimpan banyak kejutan. Di balik rasa gurihnya, sukun punya kandungan karbohidrat kompleks yang membuat tubuh terasa kenyang lebih lama. Dalam 100 gram sukun goreng, terdapat sekitar 27 gram karbohidrat, 1 gram protein, dan hanya sekitar 0,3 gram lemak. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan kentang goreng atau makanan cepat saji.

Selain itu, sukun kaya vitamin C yang berperan sebagai antioksidan alami, kalium untuk menjaga tekanan darah tetap stabil, serta serat pangan yang membantu pencernaan tetap lancar. Penelitian oleh Ragone (2006) menyebutkan bahwa sukun berpotensi menjadi alternatif pangan pengganti gandum di daerah tropis, karena mampu menyediakan energi tinggi dengan biaya tanam yang jauh lebih rendah.

Yang menarik, meskipun sering digoreng, sukun tetap bisa tergolong camilan sehat bila dimasak dengan minyak bersuhu stabil dan tidak digunakan berulang kali. Suhu idealnya sekitar 170–175°C. Pada suhu itu, bagian luar akan garing sementara bagian dalam tetap lembut dan tidak menyerap minyak berlebih.

Makanan Tradisional Jadi Tren Modern

Gorengan Sukun
Gorengan Sukun (Foto Shutterstock)

Sukun goreng sering kali identik dengan suasana sore di kampung, ditemani teh panas atau kopi hitam. Namun kini, tren kuliner lokal mulai melirik sukun sebagai bahan olahan modern. Di beberapa kota seperti Bandung dan Ambon, sudah muncul inovasi seperti keripik sukun organik, brownies sukun, hingga tepung sukun bebas gluten.

Fenomena ini menarik karena menunjukkan bahwa bahan pangan tradisional bisa beradaptasi dengan gaya hidup modern. Selain kaya gizi, sukun juga ramah lingkungan. Pohonnya tidak membutuhkan banyak perawatan, bisa tumbuh di tanah kering, dan berbuah sepanjang tahun. Artinya, sukun berperan besar dalam mendukung ketahanan pangan berkelanjutan di tengah krisis iklim global.

Laporan FAO (2013) bahkan menempatkan sukun dalam daftar “Neglected and Underutilized Species”, tanaman yang berpotensi besar tetapi belum dimanfaatkan optimal. Indonesia, dengan iklim tropisnya, sejatinya punya peluang besar menjadikan sukun sebagai bahan pangan strategis, tidak hanya camilan musiman.

Manfaat Kesehatan yang Melimpah

Selain menjadi sumber energi, sukun ternyata juga memiliki senyawa aktif yang memberi efek kesehatan nyata. Ekstrak daunnya mengandung flavonoid dan phenolic compounds yang berfungsi sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Menurut penelitian Sudarmadji et al. (2018), senyawa ini membantu menekan radikal bebas dan menjaga fungsi hati.

Kandungan seratnya juga membantu mengontrol kadar gula darah, sehingga cocok bagi orang yang ingin menjaga berat badan atau menghindari lonjakan glukosa setelah makan. Karena indeks glikemiknya tergolong sedang, sukun bisa menjadi pilihan sumber karbohidrat bagi penderita diabetes yang perlu menjaga kestabilan energi.

Menariknya lagi, sukun tidak mengandung gluten. Itu berarti bisa dijadikan bahan alternatif bagi mereka yang memiliki intoleransi terhadap gandum. Tepung sukun kini mulai dikembangkan sebagai bahan roti dan kue sehat dengan rasa yang tetap lembut dan ringan.

Sukun goreng sering dianggap camilan sederhana, tapi nilai filosofisnya cukup dalam. Dari satu pohon bisa tumbuh ratusan buah dalam setahun. Setiap buah bisa diolah dalam berbagai cara, mulai digoreng, direbus, dipanggang, bahkan dijadikan bahan pangan cadangan. Nilai itu mencerminkan prinsip kemandirian pangan, yaitu sesuatu yang kini kembali relevan ketika banyak negara mulai memikirkan diversifikasi sumber karbohidrat.

Ketika generasi muda lebih mengenal kentang beku impor ketimbang buah sukun yang tumbuh di

Halaman:
1 2