Pinterpedia.com – Di negeri yang tanahnya kerap diperebutkan, hibah tanah muncul sebagai istilah yang terdengar manis tetapi sering kali meninggalkan jejak pahit di ruang sidang. Hibah tanah pada dasarnya sederhana: seseorang menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain tanpa mengharap imbalan sepeser pun. Namun kesederhanaan di permukaan itu sering kali berubah menjadi persoalan pelik ketika keluarga, warisan, hingga tafsir hukum ikut bermain. Bukan sekali dua kali, kasus hibah berakhir di meja Mahkamah Agung, lembaga tertinggi yang menjadi pengadil final ketika sengketa tak kunjung selesai.
Masyarakat biasanya menganggap hibah tanah sebagai bentuk kebaikan hati, entah dari orang tua kepada anak, kerabat dekat, atau bahkan dari pemerintah daerah kepada lembaga negara. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa “pemberian cuma-cuma” itu bisa memicu konflik yang panjang. Ada ahli waris yang merasa dikebiri haknya, ada penerima hibah yang terancam kehilangan tanah karena dokumen dianggap cacat, dan ada pula pemerintah daerah yang memanfaatkan hibah untuk tujuan politik atau kelembagaan. Di sinilah peran Mahkamah Agung kerap muncul sebagai penentu sah tidaknya sebuah hibah.
Hibah Tanah: Antara Niat Baik dan Sengketa
Satu hal yang jarang disadari adalah bahwa hibah tanah bukan sekadar tanda tangan di atas kertas. Di balik akta, ada sederet syarat yang mesti dipenuhi: pemberi dan penerima harus masih hidup, objek tanah harus nyata dan terukur, serta proses pencatatan di kantor pertanahan wajib dilalui agar kepemilikan berpindah dengan sah. Mengabaikan satu tahapan kecil saja bisa berujung panjang. Kasus di daerah-daerah sering menunjukkan, akta hibah dibuat secara sederhana tanpa melalui pejabat pembuat akta tanah. Akibatnya, ketika generasi berikutnya menggugat, pengadilan menilai dokumen itu tidak memenuhi syarat formil.
Mahkamah Agung melalui putusan-putusannya sering menjadi tonggak penting dalam menentukan batas hibah. Ada yurisprudensi lama yang menegaskan bahwa hibah tidak boleh melanggar hak mutlak ahli waris. Larangan hibah berlebihan ini muncul bukan untuk menghalangi kebaikan, tetapi untuk melindungi keseimbangan hukum waris. Bayangkan seorang ayah yang menghibahkan seluruh tanahnya kepada satu anak, sementara anak-anak lain terabaikan. Tanpa koreksi hukum, konflik keluarga bisa meledak, dan sistem waris jadi lumpuh. Dengan putusan Mahkamah Agung, ada garis tegas bahwa hibah semacam itu dapat dibatalkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, hibah tanah bukan hanya jadi urusan