privat, tetapi juga masuk ke ranah publik. Pemerintah daerah tak jarang menghibahkan tanah kepada Mahkamah Agung untuk pembangunan gedung pengadilan baru. Berita tentang Pemkab Aceh Jaya, misalnya, yang menyerahkan lahan dua hektar untuk membangun pengadilan negeri dan mahkamah syar’iyah, menunjukkan bagaimana hibah bisa menjadi instrumen pembangunan kelembagaan negara. Di Magelang, ada kesepakatan saling hibah tanah antara pemerintah kabupaten dengan Mahkamah Agung, demi penataan ulang fasilitas peradilan. Fenomena ini menegaskan bahwa hibah tanah bukan hanya urusan keluarga, tapi juga bagian dari strategi pemerintahan dan penegakan hukum.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Menariknya, setiap kali kasus hibah masuk ke Mahkamah Agung, bukan hanya aspek hukum formal yang diuji, tetapi juga keadilan substantif. Apakah pemberian itu benar-benar sahih niatnya? Apakah ada pihak yang terzalimi? Apakah syarat administrasi terpenuhi? MA, dengan posisinya sebagai puncak peradilan, mencoba memberi jawaban yang tak sekadar kaku pada teks undang-undang, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilan sosial. Di sinilah hibah tanah memperlihatkan wajah gandanya: bisa jadi simbol kasih sayang, tetapi juga bisa jadi senjata yang melukai relasi antar manusia.

Mahkamah Agung sebagai Penjaga Kepastian Hukum

Polemik hibah tanah yang masuk ke ranah pengadilan juga memperlihatkan betapa pentingnya literasi hukum di masyarakat. Banyak orang masih berpikir bahwa selama ada surat hibah yang ditandatangani bersama saksi, semua beres. Padahal, tanpa akta PPAT dan pencatatan resmi di Badan Pertanahan, sertifikat tanah tetap tidak berpindah tangan. Sengketa pun terbuka lebar, dan ujung-ujungnya bisa menimbulkan biaya besar di pengadilan. Mahkamah Agung sendiri sudah berkali-kali mengingatkan lewat putusan bahwa prosedur hukum tak bisa ditawar-tawar.

Meski begitu, hibah tanah tetap punya sisi positif yang tak bisa diabaikan. Banyak keluarga yang dengan damai menyelesaikan hibah tanpa harus berurusan dengan hakim. Ada pula desa yang rela menghibahkan tanahnya untuk jalan atau fasilitas umum. Dalam kasus-kasus semacam ini, hibah benar-benar berfungsi sebagai alat solidaritas. Namun, peran Mahkamah Agung sebagai pengadil terakhir tetap krusial, sebab dialah yang menjaga agar hibah tidak menjadi celah manipulasi atau ketidakadilan.

Jika dilihat lebih luas, hibah tanah di Indonesia adalah cermin tarik ulur antara niat baik dan kepastian hukum. Tanpa Mahkamah Agung, tidak ada standar baku yang bisa menuntun pengadilan di tingkat bawah untuk memutus perkara serupa. Dengan hadirnya yurisprudensi,

Halaman:
1 2 3