tidak ada yang merasa terlalu tertinggal atau justru bosan karena pelajaran terlalu mudah. Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal pendidikan terapan, AI juga bisa meringankan beban administratif guru, mulai dari menyusun perangkat ajar, melakukan evaluasi otomatis, hingga menyediakan variasi materi. Dengan begitu, guru bisa lebih fokus pada interaksi kreatif dengan siswa.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Namun tentu saja, tidak ada kebijakan yang berjalan tanpa rintangan. Tantangan pertama ada pada kesenjangan infrastruktur. Tidak semua sekolah memiliki akses internet stabil atau perangkat komputer memadai. Bagaimana sekolah di pelosok bisa menerapkan kurikulum AI jika listrik saja masih byar-pet? Tantangan kedua ada pada kesiapan guru. Mayoritas tenaga pendidik saat ini belum familiar dengan AI, sehingga perlu pelatihan intensif. Jika tidak, kurikulum baru hanya akan berubah menjadi hafalan istilah teknis tanpa pemahaman mendalam. Tantangan berikutnya adalah masalah regulasi dan etika. Penggunaan AI dalam pendidikan berarti ada kemungkinan data siswa dipakai oleh sistem. Tanpa regulasi ketat, risiko kebocoran data bisa mengintai.

Selain itu, ada persoalan kurikulum itu sendiri. Jika AI dimasukkan, apakah pelajaran lain harus dikurangi porsinya? Atau akan ada tambahan jam belajar? Beban siswa jangan sampai justru bertambah berat hanya demi mengejar tren teknologi. Belum lagi soal budaya belajar. Sebagian besar orang tua masih menganggap AI sebagai hal asing, bahkan menakutkan. Dibutuhkan komunikasi publik yang jelas agar orang tua tidak curiga bahwa anaknya  diajari teknologi AI.

Meski penuh tantangan, kurikulum AI tetap membawa optimisme. Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa melahirkan generasi yang bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga pencipta. Untuk itu, sejumlah langkah konkret perlu diambil. Pertama, program percontohan di sekolah-sekolah yang sudah siap, sehingga bisa menjadi model bagi sekolah lain. Kedua, pelatihan guru yang berkelanjutan, bukan sekadar workshop singkat lalu selesai. Ketiga, kerja sama dengan perusahaan teknologi untuk menyediakan perangkat dan modul ajar. Keempat, konten lokal yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa Indonesia, agar AI tidak terasa asing. Dan terakhir, sistem pengawasan etika yang jelas untuk memastikan penggunaan AI tetap melindungi hak anak.

Kurikulum AI 2025 sesungguhnya adalah ujian besar. Jika berhasil, kita akan melihat siswa SD yang bisa berpikir logis dengan pola komputasi, siswa SMP yang membuat aplikasi sederhana, atau siswa SMA yang mengkritisi

Halaman:
1 2 3