bergerak tanpa instruksi. Bahkan sistem kecerdasan buatan membutuhkan pelatihan, aturan, atau data besar sebagai bahan pembelajaran. Tidak ada komputer yang bangun hari ini lalu bertanya, “apa tujuan saya hidup?”
Manusia memiliki dorongan internal: rasa ingin tahu, kesadaran moral, naluri bertahan, dan keinginan menciptakan sesuatu yang belum pernah ada. Motivasi ini tidak sekadar respons kimia, melainkan bagian dari makna eksistensi. Mesin hanya mengikuti alur yang dirancang manusia.
Jadi, Siapa yang Lebih Cerdas?
Jika kecerdasan diukur dari kecepatan dan ketepatan menghitung, komputer menang telak. Jika kecerdasan dinilai dari kemampuan memahami, memaknai, beradaptasi, dan mencipta, otak manusia tetap berada di posisi teratas.
Teknologi dapat meniru perilaku pintar, namun belum mampu memiliki kesadaran. Hingga saat ini, penelitian neuroscience dan kecerdasan buatan sepakat pada satu hal: kecerdasan komputer adalah kemampuan memproses, sedangkan kecerdasan manusia adalah kemampuan mengerti.
Komputer menjadi luar biasa karena manusia menciptakannya. Sebaliknya, manusia tidak membutuhkan komputer untuk terbentuk. Kompetisinya bukan tentang siapa menggantikan siapa, melainkan bagaimana keduanya saling melengkapi.
Di era yang terus mendekat pada integrasi kecerdasan buatan, pertanyaan akhirnya bukan lagi siapa yang lebih cerdas, melainkan bagaimana manusia menggunakan teknologi untuk memperluas kemampuan berpikirnya, tanpa kehilangan akal sehat dan jati diri.

                    
