sebagai text neck syndrome. Otot yang kaku akan mengirim sinyal ke otak sebagai stres fisik, memperparah rasa sesak di kepala.
Dalam jangka panjang, kebiasaan menatap layar hingga larut malam juga mengacaukan ritme biologis tubuh. Cahaya biru dari layar menekan produksi hormon melatonin yang mengatur tidur. Akibatnya, kualitas istirahat menurun, dan tubuh tidak sempat melakukan pemulihan alami. Peneliti dari Harvard Medical School (2020) mencatat bahwa paparan cahaya biru menjelang tidur dapat menunda rasa kantuk hingga dua jam.
Lingkaran Stres yang Tak Terlihat
Semua efek ini membentuk lingkaran stres yang sulit diputus. Otak yang kelelahan membuat seseorang cenderung mudah cemas, sulit fokus, dan cepat jenuh terhadap hal kecil. Ketika mencoba “kabur” dari rasa itu dengan membuka ponsel lagi, lingkarannya justru berulang.
Dalam dunia psikologi, hal ini disebut digital fatigue, kelelahan mental akibat stimulasi digital terus-menerus. Sama seperti tubuh yang butuh istirahat setelah berlari, otak juga butuh waktu tenang setelah dijejali notifikasi dan konten. Bedanya, kelelahan otak sering kali tak terlihat, tidak ada keringat seperti tubuh namun efeknya begitu terasa, seperti sulit berpikir jernih, kehilangan semangat, dan mudah marah tanpa sebab.
Pikiran Juga Perlu Istirahat
Mengistirahatkan pikiran bukan berarti harus meninggalkan teknologi sepenuhnya. Beberapa riset terbaru menyarankan penerapan digital micro-breaks, yaitu istirahat singkat setiap 30 menit dari layar. Caranya sederhananya sebagai berikut: letakkan ponsel, pandangi pemandangan jauh selama lima menit, atau tarik napas panjang beberapa kali. Dengan langkah sederhana ini dapat membantu mengaktifkan sistem saraf parasimpatik yang berfungsi menenangkan tubuh.
Selain itu, biasakan mengatur batas waktu bermain ponsel . Waktu makan, perjalanan pulang, atau menjelang tidur sebaiknya jadi momen terbaik tanpa notifikasi maupun games. Dengan begitu, otak mendapat kesempatan untuk kembali bekerja dalam ritme alaminya.
Psikolog menyebut bahwa kesadaran semacam ini adalah bentuk digital hygiene, yaitu kebersihan mental di era serba daring. Sama seperti tubuh yang butuh mandi agar bersih dan wangi, pikiran pun perlu “dibersihkan” dari banyaknya informasi digital.
Rasa sumpek setelah main HP bukanlah tanda kamu lemah, tapi bukti bahwa otakmu masih bekerja sesuai kodratnya, baha ia lelah ketika dipaksa tanpa henti. Di tengah derasnya arus informasi, menemukan hening bukanlah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan.
Kadang, solusi