sulit diverifikasi. Dalam konteks politik, sebuah video palsu dapat mengubah opini publik dalam semalam. Dalam dunia hiburan, bisa menimbulkan skandal instan. Dan dalam kehidupan pribadi, bisa menghancurkan reputasi seseorang hanya dengan satu unggahan yang viral.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Apa yang Bikin Mudah Tertipu?

Masalahnya bukan hanya di teknologi, tetapi di otak manusia. Kita cenderung mempercayai apa yang kita lihat, apalagi jika disertai emosi. Secara neurologis, otak manusia bereaksi cepat terhadap wajah dan suara, dua elemen yang menjadi fondasi deepfake dan shallowfake. Begitu ekspresi terlihat alami dan sinkron, otak langsung menandainya sebagai hal yang “nyata”.

Penelitian MIT Media Lab menunjukkan bahwa manusia jauh lebih mudah terpengaruh oleh video dibanding teks. Sementara riset dari University of Amsterdam menemukan bahwa ketika otak dihadapkan pada visual yang ambigu, ia akan “mengisi kekosongan” dengan asumsi yang paling masuk akal, ya meskipun salah. Itulah mengapa video palsu terasa lebih meyakinkan daripada tulisan hoaks.

Ketika Dunia Digital Sulit Dipercaya Sepenuhnya

Dampak sosial dari fenomena ini sangat nyata. Menurut laporan Deeptrace Labs (2020), jumlah video deepfake di internet meningkat lebih dari 900% dalam dua tahun. Sebagian besar di antaranya digunakan untuk tujuan tidak etis, termasuk penyebaran konten palsu yang menyerang privasi seseorang.

Dalam dunia politik, deepfake bisa menjadi alat propaganda. Dalam bisnis, bisa merusak kredibilitas merek. Dan dalam hubungan sosial, bisa menciptakan perpecahan berbasis kebohongan visual. Dunia digital kini memaksa kita untuk tidak hanya melek teknologi, tapi juga skeptis terhadap apa yang terlihat.

Perang melawan video palsu tidak hanya dilakukan dengan teknologi, tetapi juga kesadaran kritis. Perusahaan seperti Google dan Microsoft tengah mengembangkan algoritma pendeteksi deepfake yang mampu mengenali anomali pada wajah, pola pencahayaan, hingga ritme gerak bibir. Namun seberapa pun canggihnya deteksi, manusia tetap menjadi titik terlemah jika mudah percaya tanpa verifikasi.

Pendidikan literasi digital kini lebih penting dari sebelumnya. Masyarakat harus diajarkan untuk mempertanyakan sumber video, menelusuri konteks, dan menunda reaksi emosional sebelum membagikan sesuatu. Kritis bukan berarti curiga pada semua hal, tapi sadar bahwa di dunia digital, mata bisa ditipu lebih mudah dari pikiran.

Etika di Era Pemalsuan yang Menyentuh Batas Moral

Teknologi pada dasarnya netral. Ia bisa menjadi alat kemajuan, atau sumber kekacauan,

Halaman:
1 2 3