Pinterpedia.com – Ketika hampir semua aktivitas manusia kini punya jejak digital, ruang siber tak lagi bisa dianggap semacam “alam liar” tempat orang bebas tanpa aturan. Ia sudah menjadi infrastruktur baru, sama pentingnya dengan jalan raya, listrik, dan air. Bedanya, jika jalan rusak kita bisa lihat lubangnya, tapi kalau ruang siber dikelola buruk, dampaknya terasa lewat kebocoran data, pencurian identitas, sampai serangan yang melumpuhkan layanan publik. Inilah yang membuat istilah tata kelola ruang siber muncul dan mulai banyak dibicarakan, terutama di Indonesia.
Secara sederhana, tata kelola ruang siber bisa dipahami sebagai kerangka bagaimana sebuah negara, institusi, atau bahkan komunitas mengatur, menjaga, dan memastikan aktivitas digital berjalan aman, terarah, dan bermanfaat. Ia melibatkan aturan, prosedur, teknologi, sumber daya manusia, hingga mekanisme pendanaan. Jadi, ini bukan sekadar urusan “memasang antivirus” atau “memblokir situs nakal,” tapi jauh lebih kompleks. Tata kelola berarti membangun sistem agar ruang digital tidak hanya aman, tapi juga adil, transparan, dan mendukung kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) jadi salah satu lembaga yang paling vokal menekankan pentingnya tata kelola ini. Mereka berkali-kali mengingatkan bahwa ancaman siber terus meningkat, mulai dari serangan ransomware pada data pemerintah hingga pencurian jutaan data pribadi yang dijual murah di forum gelap. Tanpa tata kelola yang baik, ruang siber bisa berubah menjadi sumber malapetaka, bukan manfaat. Karena itu, BSSN menekankan empat pilar utama yang harus diperhatikan: manusia, proses, teknologi, dan anggaran.
Pilar pertama, manusia. Sebaik apa pun sistem keamanan, ujungnya tetap bergantung pada orang yang mengoperasikan. Banyak kasus peretasan justru terjadi karena kelalaian sederhana, seperti memakai kata sandi yang mudah ditebak atau klik sembarangan tautan. Itu sebabnya BSSN sedang mendorong adanya peta okupasi nasional di bidang keamanan siber agar jelas standar kompetensi tenaga ahli di dalamnya. Dengan begitu, kita tidak hanya bergantung pada “jagoan IT” yang belajar otodidak, tapi punya SDM yang benar-benar diakui secara profesional.
Pilar kedua, proses. Ini menyangkut aturan internal, alur respon insiden, audit keamanan, dan kerangka regulasi. Misalnya, kalau ada kebocoran data, bagaimana prosedur pelaporan? Siapa yang bertanggung jawab? Berapa lama waktu maksimal penanganan? Tanpa aturan main, semua pihak bisa saling lempar tanggung jawab. Indonesia