Pinterpedia.com – Buat banyak orang, tato sudah jadi bagian dari ekspresi diri, hiasan tubuh, bahkan bentuk seni yang bisa dibawa ke mana saja. Tapi di Korea Selatan, perjalanan tato bukan sekadar tren budaya. Ia pernah dianggap wilayah gelap, terikat aturan hukum yang kaku, dan menjerat ribuan seniman dalam status abu-abu. Selama lebih dari tiga dekade, hanya dokter yang boleh secara legal menggambar tinta di kulit orang. Ironis, karena mayoritas orang yang datang untuk tato bukan cari tindakan medis, tapi cari sentuhan seni. Lalu apa yang membuat pemerintah akhirnya membuka pintu legalisasi bagi seniman non-medis?

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Larangan yang Panjang dan Absurd

Kisah ini bermula pada 1992, ketika Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan bahwa tato dikategorikan sebagai prosedur medis. Logikanya sederhana tapi sempit: tato melibatkan penetrasi jarum ke kulit, maka ia dianggap tindakan medis. Akibatnya, siapa pun yang bekerja sebagai seniman tato tanpa ijazah kedokteran bisa dihukum berat. Lima tahun penjara atau denda setara puluhan juta won mengintai.

Bayangkan, negara dengan industri kecantikan global, tren K-pop, dan gelombang budaya populer, tapi seniman tato harus bersembunyi seperti penjual minuman keras di masa larangan. Fakta bahwa politisi dan selebritas pun punya tato kosmetik seperti alis atau bibir hanya membuat aturan itu terasa lebih absurd.

Realitas Sosial Menekan Hukum

Data Kementerian Kesehatan pada 2021 memperkirakan ada sekitar 350 ribu seniman tato di Korea Selatan. Mayoritas fokus pada rias semi permanen seperti alis, bibir, garis rambut—sesuatu yang diminati masyarakat luas. Tapi hampir semua tidak punya sertifikat medis. Jadi secara hukum, mereka ilegal.

Masalahnya, pasar terus

Halaman:
1 2 3 4