tumbuh. Orang muda melihat tato sebagai gaya, influencer pamerkan desain tinta baru, sementara pengadilan mulai lebih lunak. Beberapa seniman bahkan dibebaskan dari tuntutan, tanda bahwa hukum mulai kalah oleh kenyataan sosial.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dengan kata lain, larangan itu makin lama makin tak masuk akal. Ketika puluhan ribu orang antri buat tato setiap tahun, apakah masuk akal semua dianggap pelanggar hukum?

Perlindungan Bagi Seniman

Kondisi abu-abu hukum bikin seniman tato rentan jadi korban. Ada kasus seniman dilaporkan klien hanya karena pertengkaran harga, ada pula yang dilecehkan secara seksual lalu tidak berani melapor ke polisi karena takut dituntut balik. Setiap jarum yang menembus kulit klien bukan hanya mencetak gambar, tapi juga bisa jadi tiket masuk ke penjara.

Dengan disahkannya Undang-Undang Seniman Tato, mereka akhirnya punya payung hukum. Lisensi, pelatihan resmi, dan ujian nasional membuat posisi mereka setara dengan profesi sah lain. Ini bukan cuma soal kebebasan berkreasi, tapi juga soal martabat pekerja seni.

Penentang legalisasi, terutama Asosiasi Medis Korea, berargumen bahwa tato bisa merusak kulit, menimbulkan infeksi, bahkan menyulitkan diagnosis kanker. Kekhawatiran itu tidak salah. Jarum dan tinta memang membawa risiko. Tetapi justru karena itu perlu regulasi, bukan larangan.

Dengan hukum baru, seniman wajib ikut pelatihan kebersihan, lulus ujian, mencatat detail prosedur, dan memakai tinta yang jelas asal-usulnya. Pemerintah bisa mengawasi praktik industri, bukan sekadar menakut-nakuti. Klien pun bisa lebih tenang, tahu bahwa orang yang menggambar di kulit mereka punya standar keselamatan resmi.

Menggeser Stigma

Di Korea Selatan, tato punya beban sejarah. Ia sering diasosiasikan dengan geng kriminal atau tentara bayaran. Banyak pemandian

Halaman:
1 2 3 4