umum, kolam renang, bahkan gym menolak orang bertato. Meski generasi muda sudah lebih terbuka, stigma itu masih keras di mata masyarakat luas.
Legalitas baru ini tidak otomatis menghapus stigma. Tapi setidaknya memberi sinyal: tato bukan lagi simbol kriminalitas semata. Negara mengakui seniman tato sebagai profesional, bukan pelanggar. Prosesnya mungkin lambat, tapi setiap undang-undang yang memberi legitimasi adalah langkah menuju normalisasi.
Ekonomi dan Budaya
Tak bisa diabaikan, industri tato adalah pasar besar. Dari tato kosmetik sampai desain artistik, dari klien lokal sampai wisatawan asing, uang yang berputar tidak sedikit. Selama ini, banyak seniman tidak bisa terang-terangan mempromosikan karya karena status ilegal. Dengan pengakuan hukum, industri ini bisa lebih transparan, mengembangkan standar, bahkan jadi daya tarik budaya.
Bayangkan turis asing datang ke Seoul bukan hanya untuk kuliner dan K-pop, tapi juga untuk membawa pulang tato dari seniman Korea yang unik. Potensi ekonomi ini besar, dan pemerintah tentu tidak ingin terus-menerus kehilangan peluang hanya karena aturan kaku dari 1992.
Di balik semua alasan itu, ada juga politik. Legislator yang mendorong undang-undang baru secara terbuka mengakui bahwa banyak kolega mereka sendiri punya tato kosmetik. Ini semacam pengakuan bahwa aturan lama sudah jadi kemunafikan publik. Kalau elite saja memanfaatkan layanan tato, bagaimana bisa mereka terus menghukum rakyat biasa?
Dengan mengesahkan undang-undang, politisi bisa tampil progresif, berpihak pada industri kreatif, dan tetap mengklaim menjaga kesehatan publik lewat regulasi ketat. Semua pihak mendapat sesuatu.
Legalitas tato non-medis di Korea Selatan bukan sekadar izin mencetak gambar di kulit. Ia adalah cermin perubahan sosial, kemenangan pekerja seni atas stigma,


