benci bisa jadi pelindung.
Penyakit Urbach Wiethe terlalu jarang untuk dipelajari secara luas. Tapi justru kelangkaannya membuat setiap kasus jadi harta karun penelitian. Dari satu pasien, ilmu saraf bisa mendapat gambaran baru tentang cara kerja emosi, risiko, dan mekanisme pertahanan otak.
Di masa depan, bisa jadi temuan ini bukan hanya soal memahami rasa takut. Bisa jadi ini pintu menuju cara baru memahami emosi lain. Kalau tombol takut bisa padam, bagaimana dengan tombol marah, senang, atau cinta? Apakah masing-masing punya pusat kendali sendiri, atau semuanya bagian dari jaringan besar yang lebih rumit?
Kisah Urbach Wiethe mengingatkan kita bahwa otak manusia itu seperti hutan rimba. Ada jalur yang sudah kita kenal, ada pula jalan setapak misterius yang masih menunggu dijelajahi. Hidup tanpa takut bukanlah superpower, tapi juga bukan kutukan mutlak. Ia cuma salah satu cara alam menunjukkan betapa rapuh sekaligus cerdasnya sistem di balik tengkorak kita.
Jadi, sebelum berharap bisa hidup tanpa rasa takut, mungkin lebih baik kita belajar berdamai dengannya. Karena justru rasa takutlah yang bikin kita lebih waspada, lebih hati-hati, dan pada akhirnya lebih manusia.


