Pinterpedia.com – Indonesia kembali menyalakan wacana tentang energi nuklir. Kali ini bukan hanya pejabat atau lembaga dalam negeri yang bicara, melainkan juga diaspora—warga negara yang sudah lama berkarier di luar negeri. Mereka menyatakan kesiapannya untuk pulang atau setidaknya ikut mendorong pembangunan teknologi nuklir di tanah air. Fenomena ini terbilang menarik, sebab selama puluhan tahun isu nuklir di Indonesia lebih sering terdengar sebagai rencana tak kunjung jalan. Kini, ada sinyal baru: peran diaspora yang membawa pengalaman internasional dan semangat keterlibatan.
Dilansir dari berbagai sumber pemberitaan, pemerintah sudah memasukkan rencana pembangunan reaktor berkapasitas 500 MW ke dalam dokumen perencanaan listrik jangka menengah. Rencana ini bahkan ditempatkan sejajar dengan proyek energi terbarukan lain, menandakan nuklir mulai dianggap serius sebagai bagian dari bauran energi nasional. Beberapa negara, seperti Kanada dan Rusia, juga disebut terbuka untuk menjalin kerja sama. Kanada, misalnya, menyatakan kesiapan memberikan dukungan teknologi nuklir modern yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Mengapa diaspora begitu terdorong untuk ikut serta? Banyak dari mereka telah lama bekerja di reaktor penelitian, perusahaan teknologi energi, atau lembaga internasional. Mereka melihat bagaimana negara lain memperlakukan nuklir, bukan hanya sebagai sumber listrik, melainkan juga simbol kemandirian energi dan kemajuan riset. Ketika mendengar Indonesia mulai melirik kembali teknologi ini, rasa keterikatan mereka pun muncul. Mereka tahu, transfer pengetahuan tidak akan berjalan tanpa perantara, dan mereka sendiri bisa menjadi penghubung yang krusial.
Peran Diaspora
Diaspora bukan hanya bisa hadir sebagai konsultan sesaat. Menurut beberapa penelitian mengenai peran diaspora dalam transfer teknologi, keterlibatan mereka sering kali mempercepat pembangunan kapasitas nasional. Diaspora dapat membantu merancang kurikulum teknik nuklir di universitas dalam negeri, membuka akses bagi mahasiswa Indonesia untuk berpartisipasi di laboratorium luar negeri, hingga menjembatani proyek penelitian bersama.
Lebih dari itu, diaspora juga memainkan peran diplomasi teknologi. Dalam perjanjian nuklir internasional yang rumit, negara pemasok teknologi ingin memastikan standar keselamatan dan keamanan dipatuhi. Di sinilah posisi diaspora unik: mereka memahami kultur birokrasi Indonesia, sekaligus terbiasa dengan aturan internasional. Menurut pengamat kebijakan energi, keberadaan diaspora bisa memperlancar jalur negosiasi yang sebelumnya berbelit.
Namun, partisipasi mereka tidak akan maksimal tanpa kebijakan yang jelas. Harus ada aturan yang memberi ruang legal dan finansial agar diaspora