bisa terlibat, entah lewat program penelitian bersama, proyek industri, atau bahkan pendirian startup energi nuklir.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Tantangan Serius yang Menghadang

Meski optimisme terasa, rintangan besar tetap nyata. Pertama, persepsi publik. Kata “nuklir” masih kerap diasosiasikan dengan bahaya radiasi dan bencana seperti Chernobyl atau Fukushima. Menurut sejumlah penelitian komunikasi sains, ketakutan publik terhadap nuklir lebih sering lahir dari trauma informasi dan minimnya literasi. Diaspora bisa membantu menjelaskan konsep teknologi mutakhir seperti small modular reactor yang berukuran lebih kecil dan memiliki sistem keselamatan pasif.

Kedua, masalah regulasi. Indonesia memang memiliki badan pengawas nuklir, tetapi pembangunan reaktor skala komersial menuntut aturan yang lebih rinci. Prosedur penyimpanan limbah radioaktif jangka panjang, misalnya, harus diputuskan sejak awal. Tanpa payung hukum yang jelas, investor asing pun akan ragu. Dilansir dari berbagai sumber kebijakan energi, proyek nuklir sering gagal bukan karena teknologinya tidak ada, melainkan karena masalah hukum dan birokrasi yang berlarut.

Ketiga, soal ekonomi. Biaya membangun reaktor nuklir bisa mencapai miliaran dolar. Investor internasional mungkin berminat, tetapi mereka menuntut kepastian politik dan stabilitas regulasi. Diaspora yang memiliki pengalaman berinteraksi dengan lembaga keuangan global bisa membantu memperkenalkan skema pembiayaan baru, seperti kemitraan publik-swasta atau model build-operate-transfer.

Dan tentu saja, tantangan geografis tidak boleh diabaikan. Indonesia berada di kawasan rawan gempa. Setiap calon lokasi reaktor harus melalui kajian geologi ekstrem ketat, termasuk peta gempa, risiko tsunami, hingga rencana evakuasi masyarakat sekitar. Menurut laporan penelitian geologi energi, keberhasilan pembangunan nuklir di wilayah rawan bencana sangat bergantung pada desain reaktor yang adaptif serta kesiapan manajemen darurat yang menyeluruh.

Pada akhirnya, persoalan besar bukanlah “apakah Indonesia mampu membangun reaktor nuklir?”, tetapi “apakah Indonesia siap dengan tanggung jawabnya?”. Energi nuklir memang bisa memberi pasokan listrik stabil, rendah emisi, dan menopang industrialisasi jangka panjang. Namun ia juga menuntut disiplin, transparansi, serta komitmen lintas generasi.

Jika pemerintah mampu mengorkestrasi kebijakan yang jelas, melibatkan masyarakat, serta memfasilitasi kontribusi diaspora, maka nuklir tidak lagi sekadar jargon politik. Menurut analis energi internasional, Indonesia punya peluang untuk menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berhasil mengoperasikan reaktor komersial. Tetapi semua itu hanya akan terwujud bila ada kesungguhan, bukan sekadar wacana.

Publik kini menunggu bukti nyata. Diaspora sudah menyatakan kesiapan.

Halaman:
1 2 3